Berbagi Inspirasi Hidupku

Memahami bahasa alam dan kehidupan

Thursday 12 February 2009

“Buka-Bukaan”Menodai Moralitas Bangsa



“Buka-bukaan”, sebuah kosa kata non baku berasal dari kata dasar ‘buka’ yang mengalami pengulangan kata. Berarti, secara bahasa “buka-bukaan” itu salah satu dari bahasa ucapan atau percakapan sehari-hari. Namun, secara istilah bentuk frase sederhana tersebut memancing penafsiran ganda (ambiguitas). Benarkah?, mari kita uji.
“Buka-bukaan” sinonimnya buka-membuka. Tetapi, istilah ini akan berbeda ketika kita kaji secara kontekstual di masyarakat. Lalu, apa yang dibuka?, siapa yang membuka ?, mengapa dibuka?. Soal itu akan kita ketahui jawabannya. Tapi, saat ini “buka-bukaan” diidentikan oleh sebagian kita untuk sebutan bagi para gadis yang mengenakan pakaian serba minim dan sensual (You Can See + Free) di tempat umum, para artis yang pamer tubuh di berbagai media, pelacur (maaf, biasa diperhalus dengan sapaan wanita tuna susila, Pekerja Seks Komersial, wanita penghibur, kupu-kupu malam dan lain-lain). Sebuah eufimisme yang sia-sia. Tidak hanya wanita, pria juga ada yang berbuat demikian. Guna mencari kepuasan sensasi seks dan sekaligus meraup keuntungan materi, pria malah bangga berprofesi sebagai pelayan seks bagi wanita (gigolo), pria idaman lain atau selingkuhan.
Pengertian lain dari “buka-bukaan” yang hampir mirip maknanya dengan pamer aurat itu adalah membeberkan aib orang lain sehingga secara tidak sadar aib pribadi penggunjing itu juga tersingkap.
Beda jika “buka-bukaan” ini dimaksudkan sebagai kesaksian saksi utama guna membuktikan motif atau modus dalam sebuah kasus kriminal. Lain pula, saat “buka-bukaan” disebutkan terkait pembongkaran kasus korupsi para pejabat Negara dan nama mereka menjadi ‘aktor atau aktris’ di layar kaca. Atau bagaimana pula dengan “buka-bukaan” oleh para elit politik ketika bersaing memperoleh simpati masyarakat pada Pemilu 2009 ini.
Etiskah “Buka-bukaan” Itu?
“Buka-bukaan” merupakan salah satu perbuatan yang tidak etis dan melanggar norma jika kita artikan dengan memamerkan tubuh, berbuat amoral dan menggunjing seperti disebutkan di atas. Namun, menjadi keharusan jika “buka-bukaan” dimaksudkan untuk mengungkap tindakan kriminalitas. Masih banyak perkara lain dalam memahami perilaku manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Jelas, setiap perilaku itu perlu dipertimbangkan dampak positif dan negatifnya bagi pribadi dan orang lain.
Secara logis perihal yang terbuka atau sengaja dibuka itu dapat dilihat oleh siapa saja. Namun, berbeda jika kita berada pada ranah norma atau nilai-nilai moralitas suatu bangsa. Tidak semua “buka-bukaan” itu boleh dilihat apalagi untuk menjaga eksistensi bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki budaya Timur.
Bangsa ini dikenal sebagai bangsa berbudi luhur, sopan dan beretika. Tapi realita kehidupan sangat bertolak belakang. Apalagi menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup, seseorang tak segan-segan melakukan aksi “buka-bukaan” di depan publik sehingga ia tak lagi dikenal sebagai orang yang menjaga aib diri, keluarga dan orang lain. Secara pribadi di mata khalayak seakan-akan ia tak punya harga diri. Seorang karyawati di sebuah Perusahaan Besar dengan alasan terpaksa berpakaian minim dan seksi karena tuntutan Si Bos dan layanan prima bagi para kliennya. Jika ia merasa terpaksa berarti pekerjaan yang dilakukannya itu juga terpaksa. Sesuatu hal yang terpaksa pasti akan menyiksa diri, sebab ia telah dijajah oleh kepentingan sebagian pihak.
Segala sesuatu di alam semesta Tuhan ciptakan dalam berpasang-pasangan (Al-Quran [13]:3). Tanpa terkecuali dalam kejadian manusia, ada pria dan wanita (Al-Quran[53]:45). Masing-masing memiliki sifat natural, biasa kita sebut dengan fitrah. Tuhan alam semesta memerintahkan manusia untuk menutup aurat mereka dengan mengenakan pakaian yang baik dan indah (Al-Quran [7]:26).
Idealnya, bagi kaum hawa secara fitrah akan memahami tujuan keberadaan dirinya di dunia ini. Ia diciptakan untuk kebaikan dan kemuliaan. Dikatakan demikian, karena dari rahim seorang wanitalah lahir manusia-manusia yang memimpin dunia sesuai potensinya masing-masing. Begitu pula, perasaan malu, risih dan berusaha menutupi bagian tubuh yang tak layak dilihat itu tersingkap merupakan sifat alami seorang wanita dalam menjaga kehormatannya. Hal ini sangat dipahami oleh Tuhan alam semesta sebagaimana tercantum dalam Al-Quran [24]: 31.(silakan direnungi). Sebuah ungkapan pujangga “Wanita selalu ingin dimengerti”, sia-sia saja ungkapan ini jika mereka yang secara sadar masih terbelenggu oleh aturan yang menodai kesucian pribadinya sebagai wanita.
Namun, wanita tidak diciptakan sendiri. Sehingga, ia bukan menjadi satu-satunya penyebab manusia jauh dari sifat naturalnya. Para Prialah yang mengemban tugas untuk membimbing mereka menemukan jati diri yang sebenarnya. Bukan malah menyesatkan dan menodai mereka demi kepuasan nafsu semata. Sebab, para lelaki/pria difitrahkan sebagai pemimpin dan pelindung bagi para wanita (buka Al-Quran [4]: 34).
Akhir Oktober 2008 lalu merupakan sejarah awal bangsa ini memiliki Undang-Undang Pornografi secara resmi. Namun, dalam penegakan dan pelaksanaan UU Pornografi tersebut diperlukan komitmen dan kerjasama dari Pemerintah, masyarakat, lembaga media, pengusaha, dan pihak terkait lainnya. Sebab, di tengah pesta demokrasi ini bisa saja kita lengah dan membiarkan pelanggaran UU Pornografi tersebut.
Di dunia hiburan (intertainment), beberapa selebritis muda merelakan lekuk tubuhnya dipertontonkan di depan publik dalam tayangan film-film sinetron dan layar lebar. Ketika diwawancarai, umumnya yang menjadi argumen handalan mereka adalah profesionalitas kerja. Mereka dikontrak, maka harus menuruti tuntutan scenario dari sutradara. Terlepas melanggar norma atau tidak. Seakan-akan para seleb lari dari tanggungjawab moral bangsanya sendiri. Bahkan, bagi sebagian seleb sangat mendambakan peran dengan adegan menantang seperti “buka-bukaan” dan..(teeeeeeeeeeeeeet-o#MAAF DISENSOR#o).
Aksi “buka-bukaan” para seleb tersebut umumnya banyak ditiru oleh anak muda kita. Terutama kalangan remaja yang senang dengan idolanya masing-masing. Buktinya mereka berani memakai pakaian minim, bahkan mengikuti fashion seleb yang menjurus kepada seksualitas. Selain itu, tak jarang berita pelecehan seksual terjadi di berbagai daerah di tanah air yang mayoritas korbannya adalah kalangan wanita baik yang di bawah umur, remaja, maupun dewasa. Itu adalah salah satu dampak buruk maraknya film-film yang menyajikan tanyangan sarat dengan materi seksualitas. Tak dapat dipungkiri, dampak negatif itu menjadi bukti kurangnya perhatian orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam memberikan pendidikan norma dan moral, pendidikan seks serta keteladanan.
Di dunia periklanan (Advertising) juga tidak ketinggalan. Alasannya sederhana, guna menarik konsumen (pria) disuguhkanlah iklan yang menampilkan sensual wanita. Bahkan hampir di semua iklan yang menawarkan produk-produk tertentu, lebih ditonjolkan adalah kecantikan dan kemolekan tubuh para wanita. Bagi pakar budaya jelas itu merupakan bentuk eksploitasi wanita. Anehnya, cara promosi produk seperti itu bukan dikritisi malah dianggap biasa dalam kepentingan bisnis. Naomi Wolf (2002: 278) mengatakan dalam bukunya “The Beauty Myth; How Images of Beauty are Used Against Women Perennial”, kebudayaan konsumen sangat didukung oleh pasar yang sengaja diciptakan demi tiruan-tiruan seksual. Pria yang menginginkan objek dan wanita yang ingin menjadi objek, dan objek diinginkan secara tegas, sia-sia dan terus diubah oleh pasar. Wolf menambahkan bahwa imaji-imaji yang memasukkan seks ke dalam “kecantikan” dan menempatkan kecantikan menjadi sesuatu yang tidak manusiawi itu disambut baik secara politis dan sosio-ekonomis. Sehingga hal itu memperlemah harga diri seksual kaum wanita.
Jika para produser iklan itu memahami sinematografi dalam pembuatan iklan, seharusnya dalam menyajikan materi iklan perlu dipertimbangkan apakah mendidik masyarakat dan mencitrakan budaya bangsa ini. Misalnya, dalam menjelaskan kecantikan seorang wanita tidak diidentikkan sebatas kecantikan dari luar seperti wajah, kemolekan tubuh atau seksualitas. Lebih dari itu, kecantikan dimaknai sebagai kecantikan dari dalam (inner beauty) seperti kesopanan dan keanggunan dalam berbusana dan bersikap sehingga menggambarkan pribadi wanita Indonesia yang sebenarnya.
Tanggal 8 Maret merupakan momentum hari wanita/perempuan sedunia, Penulis bermaksud memberikan apresiasi kepada para wanita bangsa ini dan bangga dengan mereka yang telah berkiprah dalam memperjuangkan moralitas bangsanya. Sebab semua bangsa mengakui eksistensi wanita menjadi citra tersendiri sebuah bangsa. Jika wanita itu baik, maka baik pulalah bangsanya. Tentu ungkapan tersebut sangat akrab di telinga kita dan mengetahui maksud dari ungkapan itu.
Sekarang kita tinggalkan mindset bahwa ungkapan “buka-bukaan” itu identik dengan persoalan wanita. Namun, persoalan kita bersama. Selain itu, ada definisi lain dari ungkapan ini yang juga menjurus pada perlakuan melanggar norma serta kode etik di masyarakat.
“Buka-bukaan” tak ubahnya Makan Bangkai
Sekilas sangat dilematis, satu sisi menjadi tugas kita mengetahui informasi seputar kehidupan sesama dan menginformasikan kembali kepada publik untuk dicerna dengan harapan dijadikan pelajaran. Di sisi lain, kekhawatiran kita terjerat dalam perangkap kejahatan publik karena membeberkan aib sesama. Perbuatan tersebut dianggap tidak etis.
Sebenarnya paradigma tersebut wajar terjadi pada masyarakat kita. Namun, tidak akan dilematis jika antara informasi yang boleh diketahui publik dan informasi yang cukup diketahui oleh kalangan tertentu dapat kita bedakan demi menjaga ketentraman bersama. Pertimbangan apakah informasi itu termasuk layak dikonsumsi publik atau tidak, kita mesti banyak belajar dari kalangan jurnalis profesional yang punya kode etik tersendiri dalam mempublikasikan informasi/berita.
Lalu apa hubungan publikasi informasi dengan ‘buka-bukaan’ yang kita bicarakan ?. Jelasnya, publikasi informasi itu bukan “buka-bukaan” berkonotasi negatif. Sebagaimana disinggung di atas, “buka-bukaan” versi kedua ini penulis identikkan dengan menggunjing.
Kita pernah mendengar beragam kasus di masyarakat. Seseorang mau dibayar intelektualnya untuk sekedar membeberkan aib orang lain dengan tujuan menjatuhkan nama baik dan martabat seseorang di mata masyarakat. Bahkan gunjingan itu hambar terasa jika tidak dibumbui fitnah, ucapan dusta dan perkataan buruk lainnya. Kehinaan orang itu digambarkan Al-Quran [49]: 12, tak ubahnya ia telah memakan daging saudaranya yang sudah mati sangat menjijikkan.
“Buka-bukaan” itu Meniru Kapitalis Dunia
Demi meraup keuntungan materi, soal moral dan norma itu diabaikan. Fenomena rill yang ada pada masyarakat kita seperti ini merupakan dampak buruk dari kepentingan yang masih berkiblat pada sistem kapitalis dunia. Kapitalisme adalah salah satu pola pandang manusia dalam segala kegiatan ekonominya (id.wikipedia.org). Sistem ini lebih mementingkan kekayaan materi, gaya hidup hedonis dan mengabaikan aspek norma dan moralitas yang bersumber dari nilai luhur bangsa sendiri.
Chris Barker (2004: 295) dalam “Cultural Studies, Theory and Practice”, mengutip Schiller yang mengatakan bahwa media cocok dengan sistem kapitalis dunia. Media menyediakan dukungan ideologis bagi kapitalisme, dan korporasi transnasional. Dalam hal ini termasuklah bisnis dengan memanipulasi massa melalui tayangan mengumbar seksualitas dan informasi gosip dan fiktif. Sebab, menurut Zacky Nouval F. (2007) ada tiga isu abadi dalam jurnalisme kapitalis di Indonesia, yaitu harta, tahta dan wanita.
Tidak hanya di dunia media, sistem kapitalis dunia ini juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bangsa dunia melalui Globalisasi. Sebagian masyarakat kita latah dengan arus global yang menggerus nilai-nilai luhur itu. Sehingga identitas bangsa ini menjadi kabur, karena kehidupan masyarakat cenderung terwarnai oleh pola pikir, gaya hidup ala bangsa kapitalis.
Sebagai bangsa yang berkembang, tidak luput dari benturan kultur atau budaya dari bangsa lain. Lantas, apakah kita pasrah dengan itu?, tentu tidak. Mentalitas bangsa cenderung hanya meniru dan mengikuti tanpa pertimbangan matang perlu dirubah menuju bangsa yang percaya diri, bangga dan berani menentukan sikap serta yakin bisa menjadi teladan bagi bangsa lain. Bangga sebagai bangsa yang memiliki ciri khas tersendiri. Nilai-nilai luhur yang bersumber dari ragam adat-istiadat, agama dan sistem kepercayaan menjadikan bangsa ini tetap kokoh. Tidak mustahil era kemajuan bangsa kita berawal dari bentuk-bentuk pewarisan nilai-nilai luhur tersebut kepada generasi selanjutnya. Satu di antara nilai-nilai luhur itu adalah berpakaian sopan, ramah dan menghargai orang lain.
Dengarkan Suara Nuranimu
Beragam versi “buka-bukaan” tersebut dapat diketahui ada yang dilakukan karena unsur kesengajaan atau keterpaksaan. Tanyakan dan jawab secara jujur dengan hati nurani kita masing-masing, sudikah Aku jika aib pribadiku diketahui dan menjadi buah bibir orang lain?, apakah Aku mau menanggung malu keluarga dan sanak famili akibat ulahku “buka-bukaan” di depan umum ?, siapkah Aku menerima hujatan, cercaan dari masyarakat yang membenci perangai burukku itu ?, apakah yang kulakukan itu terbaik bagiku dan bangsaku?. Dalam hal ini siapa pun tidak mau dianggap sampah masyarakat atau pengkhianat bangsa sendiri.
Namun, dari itu semua sebenarnya kita mengakui secara nurani “buka-bukaan” yang merendahkan dan menghinakan diri sebagai anak manusia sangat dibenci semua orang apakah itu memamerkan tubuh, atau membuka dan membeberkan aib sesama. Itu sama saja dengan membiarkan orang lain mengetahui aib Anda, meremehkan dan merendahkan diri Anda serta menganggap diri Anda selamanya di bawah serta hina. Anda dianggap tak pantas setara apalagi di atas seperti pemimpin yang menjadi teladan bagi banyak orang.
Semoga kita jauh dari aksi “buka-bukaan” berefek negatif seperti digambarkan di atas dan selalu menerima diri serta membuka diri untuk bergaul dengan masyarakat tanpa menodai norma dan moralitas bangsa tercinta.

0 comments:

Crocodile Print Pointer