[Kisah Nyata 9 April 2012]
Sore ini hujan turun lebat. Jam menunjukkan pkl. 17.42
WIB. Sebenarnya kuurungkan niatku untuk ke luar rumah. Tapi aku ingin ke masjid
yang tidak terlalu jauh dari rumahku. “Hujan pun baru saja turun, Ya sudah..aku
tetap nekad pergi ke masjid Sirajul Munir itu. Meski tubuhku terkena percikan air hujan dari
tanah. Tenang saja aku ada bawa jaket bertutup kepala jadi tidak terlalu basah.
Pikirku. Kini aku sudah berada di dalam masjid. Ku nikmati suasana sungguh menyejukkan.
Di luar sana hujan belum juga berhenti. Aku duduk bersila di atas karpet
sajadah berwarna hijau dan menghadap kiblat sambil menulis tulisan ini.
Kudengarkan lantunan shalawat taslim yang dibawakan oleh sahabatku. Memang
sahabatku itu hapal betul dengan shalawat yang biasa dilantunkan menjelang
maghrib. Sedang aku tidak begitu hafal. Di masjid ini, orang-orang belum
berdatangan, jadi baru kami berdua saja. Maklum hujan belum reda. Sebelumnya
sajadah sudah kugelar sebanyak tiga shaf. Menurutku di masjid kami 3 shaf itu
sudah lumayan ramai untuk waktu maghrib hingga isya’. Kadang penuh, kadang juga
tidak.
Jam lemari masjid menunjukkan pukul 18.52 WIB. Adzan pun
berkumandang. Memang tidak biasanya aku ada mood
hari ini untuk menulis. Aku sengaja membawa buku kecil dan bolpoint di sakuku
lalu kutulis apa aja yang terlintas dalam hati dan pikiranku. Moga aja
dikemudian hari bermanfaat. Gumamku dalam hati.
Seusai mengumandangkan adzan, sahabatku menoleh ke
sana kemari karena imam shalat hari ini belum datang. Alhamdulillah, akhirnya datang juga. Ada Pak Sani yang biasa
menjadi imam sedang berjalan menaiki tangga masjid lantai 2. Sahabatku pun
mengumandangkan iqamat. Pak Sani maju ke mihrab dan menjadi imam shalat maghrib
hari ini. Sedangkan kami berbaris rapi di belakang beliau. Kamipun memulai
shalat maghrib berjamaah.
Seusai wirid, dzikir dan do’a. Kami shalat sunnat ba’diayah (sesudah) maghrib
masing-masing. Kemudian Aku melihat Pak Sani sudah membaca Al-Quran. Akupun tertarik
ingin membaca Al-Quran. Disaat aku
mengaji, adik angkatku, Azizah (berumur 8 tahun) menghampiriku, “Bang ayah
minta antar mengajar” ujarnya padaku. “Abang tidak sempat, abang mau wawancara
ba’da isya ini.”jawabku padanya. Lalu Azizah pun pulang. Aku meneruskan bacaan
Al-Quranku. sepertinya perasaanku ada yang tidak enak dan agak kacau hari ini.
Apa mungkin karena aku mengabaikan dan menolak untuk mengantar ayah angkatku,
yakni ustadz Ibrahim. Memang malam ini jadual beliau mengajar di majelis taklim
Al-Huda di Gg. Duku Baru. Dan yang biasanya aku sering mengantar beliau. “Ya…sudahlah,
kan masih ada anak beliau yang mengantar.” Pikirku dalam hati.
Semenjak Aku merantau dan kuliah di Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri di kota Pontianak ini, Aku dititipkan oleh orang tuaku
dengan seorang ustadz yang sangat berwibawa dan baik hati. Beliau pula yang
menjadi wasilah atas kesembuhan diriku dari lupa ingatan pasca sakit sewaktu
aku masih kelas 6 SD. Hampir setiap malam, beliau membacakan doa lalu
meniupkannya ke ubun-ubun kepalaku saat aku terlelap tidur. Atas pertolongan
Allah dan keberkahan doa dari beliau, aku sembuh dari lupa ingatan. Beliau dan
keluarganya banyak berjasa padaku dan keluargaku.
Pikiranku tidak menentu, moga aja setelah mengaji
dapat lebih tenang. Melihatku mengaji, sahabatku juga ikutan mengambil Al-Quran
di meja depan mihrab. Kamipun mengaji masing-masing. Aku bersyukur bisa membaca
Al-Quran dengan tartil dan berhukum tajwid, meski terkadang tersalah saat
membaca dan dengan mudah kuperbaiki bacaanku.
Setiap
membaca Al-Quran, Aku teringat masa kecilku dan
terharu pada Ibuku yang sangat sayang dan peduli dengan pendidikan ilmu
agama anaknya
terutama bacaan Al-Quran, sewaktu aku masih anak-anak aku disuruh
belajar
mengaji dengan guru ngaji di desaku. Bahkan sampai kami pindah rumah
merantau
ke Kota, aku masih dicarikan guru ngaji oleh ibuku di samping itu Ibuku
juga
mendaftarkanku masuk TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di masjid Sirajul
Munir ini. Aku senang belajar mengaji dengan guru ngajiku
yang baru. Mulai membaca terbata-bata sampai lancar dan khatam. Sehingga
Aku
merasakan manfaat atas perjuanganku belajar Al-Quran sejak kecil. Kini
aku bisa
menjadi guru ngaji di TPA yang didirikan di masjid ini. Memang Ibuku
sejak
kecil hingga berkeluarga sangat akrab dengan Al-Quran, beliau sering
ikut
perlombaan MTQ tingkat kecamatan. Kini Aku sebagai anak beliau menjadi
generasi
penerusnya. Ibu ingin aku mesti lebih baik, lebih pandai dari dirinya.
Lamunanku soal ibu tiba-tiba muncul, sebab sore tadi
memang aku sempat menelpon ibuku di desa. Ia menanyakan kabarku, “ Nak bagaimana
skripsimu udah selesai apa belum, kapan wisudanya”. Ibu sangat
mengkhawatirkanku terutama kesehatanku akhir-akhir ini menurun. Memang sudah
lama aku tidak mengirim kabar kepada ayah dan Ibu di desa semenjak handphone ku diembat maling licik yang barusan
keluar dari LP. Saat mendengar suara Ibu, semangatku kembali terisi, seolah
batrai yang baru dicas. Aku tak ingin kecewakan Ibu dan ayahku serta
keluargaku. Aku harus wisuda tahun ini.
Ku teruskan membaca ayat-ayat Al-Quran dan sesekali
aku diam sejenak untuk membaca dan mencerna terjemahannya. Tidak terasa waktu seolah
begitu singkat, waktu shalat isya’ sekitar 2 menit lagi. Akupun menyudahi
bacaan Al-Quranku. Lalu menaruhnya di meja depan mihrab.
Jam 19.00 WIB. Waktu isya’ masuk. Aku pun mendekati microphone untuk mengumandangkan adzan.
Seperti biasa setelah adzan, kami melaksanakan shalat sunat rawatib qabliyah (sebelum) isya’. Sambil
menunggu jamaah lainnya berdatangan. Setelah kulihat tidak ada lagi yang shalat
sunnat, Aku berdiri dan ber-iqamat.
Imam dan para jamaah memposisikan diri masing-masing. Takbir Imam mengawali
shalat isya’ berjamaah dimulai.
Seusai shalat, seperti biasa wirid, dzikir, do’a
dibacakan secara jahr (bersuara). Ada
yang agak lucu di sini. Para jamaah sangat sulit jika diajak berada tepat
dibelakang imam. Dikhawatirkan disuruh imam untuk memimpin do’a. Sehingga,
setiap kali mengatur shaf (barisan
shalat), mereka seolah menghindar untuk berada tepat di barisan belakang imam
dan masing-masing memilih sisi kanan dan kiri bahkan pojok. Iya itu artinya tau
diri. Maklum, kata ustadz Ibrahim M. Yusuf Mohan, orang yang berada tepat di
belakang imam itu bukan makmum sembarangan. Ia mesti siap siaga menegur dengan
adab, yakni bacaan “Subhaanallooh”,
jikalau imam terlupa bacaan ayat atau salah gerakan. Makmum yang persis tepat
dibelakang imam harus siap maju dan menggantikan ketika imam batal (kentut).
Iya sih itu memang sudah menjadi ketentuan hukum fiqih sesuai yang diajarkan
Rasul saw.
Entah kenapa, malam ini mood-ku terasa turun-naik (kayak signal hp aja) dan filingku kurang enak. Apa mungkin aku
terlalu terbebani dengan persoalan yang sedang ku hadapi akhir-akhir ini yakni,
aku mesti segera menyelesaikan skripsiku. Aku tetap menepis perasaan yang gak
enak itu, aku terus keluar rumah dan membawa motor buntutku. Rencanaku Aku mau
ke rumah Pak Sani, mau mewawancarai beliau untuk keperluan data penelitianku
yang masih kurang. Tapi kulihat dari kejauhan, Beliau masih mampir ke rumah
temannya di gang seberang sana. “emm..sepertinya agak lama kalau menunggu
beliau pulang ke rumahnya” gumamku dalam hati. “Lebih baik aku silaturahmi ke
rumah Pak Bahari” pikirku sambil mengendarai motor buntutku. Aku agak kesulitan
menyeberangi jalan yang penuh dengan lalu-lalang kendaraan, maklum diperkotaan.
Lalu aku lihat lampu motorku kedip-kedip, aku beranikan diri menyeberang dengan
mengendarai motor. Eh…tiba-tiba tidak kusangka ada motor dari arah kanan melaju
menyeruduk motorku dibagian bodi depannya. BRAAAKK!!..,Tak ayal lagi kami
bertabrakan, entah bagaimana posisi mereka yang menabrakku, sedangkan aku tidak
sama sekali terjatuh, cuma motorku tergeletak dengan bodi depannya pecah dan
hancur tertinggal di tengah jalan. Sepertinya mereka yang menabrakku jatuh
terpental. Soalnya setelah ku angkat motorku dan kutepikan. Mereka berdua meringis
kesakitan, kulihat dilutut salah seorang yang menabrakku itu luka lecet (kulit
lapisan epidermis luar terkelupas, uhhsss..pasti sangat pedih). Moga saja tidak
terlalu parah. Aku tidak terluka, cuma kulit kakiku sedikit tergores. Aku
bersyukur masih selamat.
Entah siapa yang salah, apakah aku yang kurang
hati-hati dalam menyeberang jalan, atau mereka yang asal kebut dijalan. Setauku
sama-sama bersalah. Tidak ada pembelaan dalam situasi dan kondisi seperti ini.
Teman-temanku yang melihatku ditabrak, segera menghampiriku dan menanyaiku.
“Apa kamu luka sob?” Tanya temanku. “tidak apa-apa” jawabku singkat. Kuhampiri
mereka yang sepertinya kesakitan kakinya, aku hanya melihat mereka dan tak
berani berkata apa-apa, aku hanya diam. Aku sadar ini juga salahku. Mungkin
mereka juga terlalu terburu-buru. Moga hari ini, untuk yang pertama kalinya dan
terakhir kalinya aku ditabrak, sungguh pelajaran yang sangat berharga dan
bermakna bagiku. Aku merasa bersalah, akibat kelalaianku dalam menyeberang
jalan, aku telah membahayakan nyawa dan melukai orang lain. Inilah akibatnya
jika pikiran dan perasaan kita tidak fokus dan tidak konsentrasi saat
menyeberang. Aku juga salah, mengapa saat itu aku tidak minta maaf saja sama
mereka. Mereka keburu kabur. Inilah pengalaman memalukan yang sebenarnya tak
layak untuk diceritakan. Namun, Aku yakin ada hikmah dibalik peristiwa
kehidupan yang ku alami. Menjadi pelajaran bagiku, aku telah mengabaikan
perintah ustadz, yang telah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Aku tak ingin
kejadian serupa terulang atau yang lebih parah menimpaku. Sahabat, mari kita
patuhi dengan segera setiap perintah atau suruhan kedua orang tua, guru kita,
orang yang telah banyak berjasa dengan kita, orang-orang alim dan sholeh karena
mereka sama derajatnya dengan wali Allah di muka bumi ini. Jangan sakiti hati
dan perasaan mereka. Selagi perintah dan suruhan itu diridhai oleh Allah swt. Jika
kita tidak ingin dicap sebagai anak durhaka yang celaka. Terima kasih sudah
membaca kisahku.
“Pemulung
Inspirasi”
0 comments:
Post a Comment