Berbagi Inspirasi Hidupku

Memahami bahasa alam dan kehidupan

Friday 22 August 2014

Jangan Abaikan Perintah Orang Tua

[Kisah Nyata 9 April 2012]
Sore ini hujan turun lebat. Jam menunjukkan pkl. 17.42 WIB. Sebenarnya kuurungkan niatku untuk ke luar rumah. Tapi aku ingin ke masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahku. “Hujan pun baru saja turun, Ya sudah..aku tetap nekad pergi ke masjid Sirajul Munir itu. Meski tubuhku terkena percikan air hujan dari tanah. Tenang saja aku ada bawa jaket bertutup kepala jadi tidak terlalu basah. Pikirku. Kini aku sudah berada di dalam masjid. Ku nikmati suasana sungguh menyejukkan. Di luar sana hujan belum juga berhenti. Aku duduk bersila di atas karpet sajadah berwarna hijau dan menghadap kiblat sambil menulis tulisan ini. Kudengarkan lantunan shalawat taslim yang dibawakan oleh sahabatku. Memang sahabatku itu hapal betul dengan shalawat yang biasa dilantunkan menjelang maghrib. Sedang aku tidak begitu hafal. Di masjid ini, orang-orang belum berdatangan, jadi baru kami berdua saja. Maklum hujan belum reda. Sebelumnya sajadah sudah kugelar sebanyak tiga shaf. Menurutku di masjid kami 3 shaf itu sudah lumayan ramai untuk waktu maghrib hingga isya’. Kadang penuh, kadang juga tidak.

Jam lemari masjid menunjukkan pukul 18.52 WIB. Adzan pun berkumandang. Memang tidak biasanya aku ada mood hari ini untuk menulis. Aku sengaja membawa buku kecil dan bolpoint di sakuku lalu kutulis apa aja yang terlintas dalam hati dan pikiranku. Moga aja dikemudian hari bermanfaat. Gumamku dalam hati.
Seusai mengumandangkan adzan, sahabatku menoleh ke sana kemari karena imam shalat hari ini belum datang. Alhamdulillah, akhirnya datang juga. Ada Pak Sani yang biasa menjadi imam sedang berjalan menaiki tangga masjid lantai 2. Sahabatku pun mengumandangkan iqamat. Pak Sani maju ke mihrab dan menjadi imam shalat maghrib hari ini. Sedangkan kami berbaris rapi di belakang beliau. Kamipun memulai shalat maghrib berjamaah.

Seusai wirid, dzikir dan do’a. Kami shalat sunnat ba’diayah (sesudah) maghrib masing-masing. Kemudian Aku melihat Pak Sani sudah membaca Al-Quran. Akupun tertarik ingin membaca Al-Quran. Disaat  aku mengaji, adik angkatku, Azizah (berumur 8 tahun) menghampiriku, “Bang ayah minta antar mengajar” ujarnya padaku. “Abang tidak sempat, abang mau wawancara ba’da isya ini.”jawabku padanya. Lalu Azizah pun pulang. Aku meneruskan bacaan Al-Quranku. sepertinya perasaanku ada yang tidak enak dan agak kacau hari ini. Apa mungkin karena aku mengabaikan dan menolak untuk mengantar ayah angkatku, yakni ustadz Ibrahim. Memang malam ini jadual beliau mengajar di majelis taklim Al-Huda di Gg. Duku Baru. Dan yang biasanya aku sering mengantar beliau. “Ya…sudahlah, kan masih ada anak beliau yang mengantar.” Pikirku dalam hati. 

Semenjak Aku merantau dan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di kota Pontianak ini, Aku dititipkan oleh orang tuaku dengan seorang ustadz yang sangat berwibawa dan baik hati. Beliau pula yang menjadi wasilah atas kesembuhan diriku dari lupa ingatan pasca sakit sewaktu aku masih kelas 6 SD. Hampir setiap malam, beliau membacakan doa lalu meniupkannya ke ubun-ubun kepalaku saat aku terlelap tidur. Atas pertolongan Allah dan keberkahan doa dari beliau, aku sembuh dari lupa ingatan. Beliau dan keluarganya banyak berjasa padaku dan keluargaku. 

Pikiranku tidak menentu, moga aja setelah mengaji dapat lebih tenang. Melihatku mengaji, sahabatku juga ikutan mengambil Al-Quran di meja depan mihrab. Kamipun mengaji masing-masing. Aku bersyukur bisa membaca Al-Quran dengan tartil dan berhukum tajwid, meski terkadang tersalah saat membaca dan dengan mudah kuperbaiki bacaanku. 

Setiap membaca Al-Quran, Aku teringat masa kecilku dan terharu pada Ibuku yang sangat sayang dan peduli dengan pendidikan ilmu agama anaknya terutama bacaan Al-Quran, sewaktu aku masih anak-anak aku disuruh belajar mengaji dengan guru ngaji di desaku. Bahkan sampai kami pindah rumah merantau ke Kota, aku masih dicarikan guru ngaji oleh ibuku di samping itu Ibuku juga mendaftarkanku masuk TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di masjid Sirajul Munir ini.  Aku senang belajar mengaji dengan guru ngajiku yang baru. Mulai membaca terbata-bata sampai lancar dan khatam. Sehingga Aku merasakan manfaat atas perjuanganku belajar Al-Quran sejak kecil. Kini aku bisa menjadi guru ngaji di TPA yang didirikan di masjid ini. Memang Ibuku sejak kecil hingga berkeluarga sangat akrab dengan Al-Quran, beliau sering ikut perlombaan MTQ tingkat kecamatan. Kini Aku sebagai anak beliau menjadi generasi penerusnya. Ibu ingin aku mesti lebih baik, lebih pandai dari dirinya. 

Lamunanku soal ibu tiba-tiba muncul, sebab sore tadi memang aku sempat menelpon ibuku di desa. Ia menanyakan kabarku, “ Nak bagaimana skripsimu udah selesai apa belum, kapan wisudanya”. Ibu sangat mengkhawatirkanku terutama kesehatanku akhir-akhir ini menurun. Memang sudah lama aku tidak mengirim kabar kepada ayah dan Ibu di desa semenjak handphone ku diembat maling licik yang barusan keluar dari LP. Saat mendengar suara Ibu, semangatku kembali terisi, seolah batrai yang baru dicas. Aku tak ingin kecewakan Ibu dan ayahku serta keluargaku. Aku harus wisuda tahun ini.

Ku teruskan membaca ayat-ayat Al-Quran dan sesekali aku diam sejenak untuk membaca dan mencerna terjemahannya. Tidak terasa waktu seolah begitu singkat, waktu shalat isya’ sekitar 2 menit lagi. Akupun menyudahi bacaan Al-Quranku. Lalu menaruhnya di meja depan mihrab.

Jam 19.00 WIB. Waktu isya’ masuk. Aku pun mendekati microphone untuk mengumandangkan adzan. Seperti biasa setelah adzan, kami melaksanakan shalat sunat rawatib qabliyah (sebelum) isya’. Sambil menunggu jamaah lainnya berdatangan. Setelah kulihat tidak ada lagi yang shalat sunnat, Aku berdiri dan ber-iqamat. Imam dan para jamaah memposisikan diri masing-masing. Takbir Imam mengawali shalat isya’ berjamaah dimulai.

Seusai shalat, seperti biasa wirid, dzikir, do’a dibacakan secara jahr (bersuara). Ada yang agak lucu di sini. Para jamaah sangat sulit jika diajak berada tepat dibelakang imam. Dikhawatirkan disuruh imam untuk memimpin do’a. Sehingga, setiap kali mengatur shaf (barisan shalat), mereka seolah menghindar untuk berada tepat di barisan belakang imam dan masing-masing memilih sisi kanan dan kiri bahkan pojok. Iya itu artinya tau diri. Maklum, kata ustadz Ibrahim M. Yusuf Mohan, orang yang berada tepat di belakang imam itu bukan makmum sembarangan. Ia mesti siap siaga menegur dengan adab, yakni bacaan “Subhaanallooh”, jikalau imam terlupa bacaan ayat atau salah gerakan. Makmum yang persis tepat dibelakang imam harus siap maju dan menggantikan ketika imam batal (kentut). Iya sih itu memang sudah menjadi ketentuan hukum fiqih sesuai yang diajarkan Rasul saw.

Entah kenapa, malam ini mood-ku terasa turun-naik (kayak signal hp aja) dan filingku kurang enak. Apa mungkin aku terlalu terbebani dengan persoalan yang sedang ku hadapi akhir-akhir ini yakni, aku mesti segera menyelesaikan skripsiku. Aku tetap menepis perasaan yang gak enak itu, aku terus keluar rumah dan membawa motor buntutku. Rencanaku Aku mau ke rumah Pak Sani, mau mewawancarai beliau untuk keperluan data penelitianku yang masih kurang. Tapi kulihat dari kejauhan, Beliau masih mampir ke rumah temannya di gang seberang sana. “emm..sepertinya agak lama kalau menunggu beliau pulang ke rumahnya” gumamku dalam hati. “Lebih baik aku silaturahmi ke rumah Pak Bahari” pikirku sambil mengendarai motor buntutku. Aku agak kesulitan menyeberangi jalan yang penuh dengan lalu-lalang kendaraan, maklum diperkotaan. Lalu aku lihat lampu motorku kedip-kedip, aku beranikan diri menyeberang dengan mengendarai motor. Eh…tiba-tiba tidak kusangka ada motor dari arah kanan melaju menyeruduk motorku dibagian bodi depannya. BRAAAKK!!..,Tak ayal lagi kami bertabrakan, entah bagaimana posisi mereka yang menabrakku, sedangkan aku tidak sama sekali terjatuh, cuma motorku tergeletak dengan bodi depannya pecah dan hancur tertinggal di tengah jalan. Sepertinya mereka yang menabrakku jatuh terpental. Soalnya setelah ku angkat motorku dan kutepikan. Mereka berdua meringis kesakitan, kulihat dilutut salah seorang yang menabrakku itu luka lecet (kulit lapisan epidermis luar terkelupas, uhhsss..pasti sangat pedih). Moga saja tidak terlalu parah. Aku tidak terluka, cuma kulit kakiku sedikit tergores. Aku bersyukur masih selamat. 

Entah siapa yang salah, apakah aku yang kurang hati-hati dalam menyeberang jalan, atau mereka yang asal kebut dijalan. Setauku sama-sama bersalah. Tidak ada pembelaan dalam situasi dan kondisi seperti ini. Teman-temanku yang melihatku ditabrak, segera menghampiriku dan menanyaiku. “Apa kamu luka sob?” Tanya temanku. “tidak apa-apa” jawabku singkat. Kuhampiri mereka yang sepertinya kesakitan kakinya, aku hanya melihat mereka dan tak berani berkata apa-apa, aku hanya diam. Aku sadar ini juga salahku. Mungkin mereka juga terlalu terburu-buru. Moga hari ini, untuk yang pertama kalinya dan terakhir kalinya aku ditabrak, sungguh pelajaran yang sangat berharga dan bermakna bagiku. Aku merasa bersalah, akibat kelalaianku dalam menyeberang jalan, aku telah membahayakan nyawa dan melukai orang lain. Inilah akibatnya jika pikiran dan perasaan kita tidak fokus dan tidak konsentrasi saat menyeberang. Aku juga salah, mengapa saat itu aku tidak minta maaf saja sama mereka. Mereka keburu kabur. Inilah pengalaman memalukan yang sebenarnya tak layak untuk diceritakan. Namun, Aku yakin ada hikmah dibalik peristiwa kehidupan yang ku alami. Menjadi pelajaran bagiku, aku telah mengabaikan perintah ustadz, yang telah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Aku tak ingin kejadian serupa terulang atau yang lebih parah menimpaku. Sahabat, mari kita patuhi dengan segera setiap perintah atau suruhan kedua orang tua, guru kita, orang yang telah banyak berjasa dengan kita, orang-orang alim dan sholeh karena mereka sama derajatnya dengan wali Allah di muka bumi ini. Jangan sakiti hati dan perasaan mereka. Selagi perintah dan suruhan itu diridhai oleh Allah swt. Jika kita tidak ingin dicap sebagai anak durhaka yang celaka. Terima kasih sudah membaca kisahku.

Pemulung Inspirasi

0 comments:

Crocodile Print Pointer