Berbagi Inspirasi Hidupku

Memahami bahasa alam dan kehidupan

Tuesday, 5 August 2014

Namaku Satria

Birulwalidain (Memuliakan Kedua Orang Tua)

Sepenggal Kisahku, inspirasi hidupku
Kutuangkan kisahku ini untuk menjadi pelajaran bagi diri dan generasiku di masa mendatang agar berbakti dan memuliakan kedua orang tua sepanjang hayatnya.

Aku terlahir aneh
Sebagaimana kisahku sebelumnya[1], aku dilahirkan dengan keanehan yakni berbeda dengan bayi pada umumnya. Ibu melahirkanku di rumah nenek dengan bantuan bidan kampung (dukun beranak). Wajah mungilku diselubungi warna hitam gelap, hanya ujung hidung dan ujung dagu sedikit yang tampak. Penyebabnya sungguh tidak masuk akal, sewaktu Ibu mengandung. Di malam pada saat gerhana bulan, mata ibu sangat mengantuk. Ibu tahan rasa kantuk itu dengan menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangannya dan menyapukannya ke wajahnya. Saat itu ibu tidak mengetahui bahwa sedang terjadi gerhana bulan. Orang kampung percaya, gerhana bulan akan berpengaruh pada janin yang dikandung. Aku terkena rau bulan[2]

Tapi, nenekku (ibu dari Ayah) tidak mau cucunya berwajah hitam begitu. Nenek mengetahui bagaimana cara menjadikan rau bulan itu hilang dari kulit wajahku. Nenek menyuruh ibuku mengambil tanah inciringan[3] untuk kemudian ditepe’kan (dibedaki) dibuat masker pada wajahku. Lalu wajahku disungkup (ditutup) dengan daun keladi (talas) sambil ibuku membacakan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. sebanyak tiga kali[4]. Setelah beberapa menit kemudian, wajahku dibersihkan dengan sabun. Setiap kali sebelum Ibu memandikanku, ibu melakukan petue (cara-cara falsafah dari orang-orang tua terdahulu) itu dengan rutin. Alhamdulillah, beransur-ansur, warna hitam yang menempel dikulitku mulai terkikis, warna kulit wajahku pun terlihat.[5]

Ayahku menamaiku Satria 
Banyak orang belum tau mengapa Aku dinamai Satria?...Ada sekilas kisah nostalgia orang tuaku. Sekitar tahun 80-an semasa Ayah berkenalan dengan Ibu dulu, Ayah sehari-hari bekerja sebagai pemutar film Bioskop di Pasar Tebas. Bioskop oleh orang-orang kampungku menyebutnya dengan sebutan panggong. Ketika Ibu menonton, oleh Ayah, Ibu tidak dikenai bayaran karcis (gratis). Harga karcis saat itu Rp 1000,-/orang. 

Disaat Ibu mengandungku dan hingga melahirkanku, masa itu sangat populer pemutaran film yang berjudul Saur Sepuh: Satria Madangkara Karcis-karcis cepat habis terjual. Warga sekitar kecamatan Tebas memadati ruang Bioskop hingga banyak yang mengantri di luar menunggu giliran jam pemutaran berikutnya. Ayah dan Ibu sangat mengidolakan tokoh Protagonisnya (tokoh utama) yaitu Satria Madangkara selaku pendekar atau pahlawan dalam setiap adegan cerita. Orang kampungku biasa menyebut tokoh Protagonis dengan sebutan Anak Mudde, sedangkan untuk tokoh antagonis disebut sebagai penjahat.


Setelah kelahiranku, Ayah dan Ibu tidak bingung-bingung lagi mencarikan nama (merk) untukku. Beliau berdua sepakat menamaiku dengan nama Satria diadopsi dari nama depan si pendekar dalam film kolosal itu. Ayah dan Ibu tau persis makna nama yang disematkannya untuk buah hatinya, Satria itu pemberani, gagah perkasa, berjiwa pahlawan, penolong, rela berkorban untuk kepentingan semua orang, pembela kebenaran dan pembasmi kejahatan. Itu tercermin dari watak dan sikap yang dimainkan oleh tokoh tersebut. Selain itu, "Satria" merupakan nama kasta (kelas) Bangsawan dalam agama Hindu. Meskipun kami berasal dari keluarga beragama Islam (muslim). Tak masalah, yang terpenting nama atau istilah itu mengandung makna kebaikan bukan keburukan, yakni berjiwa pahlawan dan pemberani.


Ayah dan Ibuku sangat berharap, dengan nama itu, aku selaku anak mereka bisa berjiwa kuat, tegar menghadapi segala rintangan, pahlawan keluarga, berbakti kepada kedua orang tua, agama, bangsa dan negara. Satria adalah bukan sembarang nama, ia adalah nama pejuang. Kemudian hari kelak, nama itu akan menjadi doa, penyemangat jiwa si anak.

Memang semenjak lahir dengan gejala keanehan, Ayah dan Ibuku selalu mengkhawatirkanku, itu suatu pertanda bahwa kelak dalam kehidupanku diliputi dengan beragam rintangan. Mereka tau dan memahami kelemahanku, bayinya ini punya kekurangan dan kelebihan. Kekurangannya Aku anak yang memiliki jiwa yang lemah, orang kampungku menyebutnya dengan lemah semangat. Jiwa yang mudah goyah jika tidak dibimbing dan dibantu dengan doa dan semangat dari orang-orang terdekatnya.
Semoga dengan nama Satria, jiwanya menjadi kuat dan bisa menghadapi segala cobaan yang menghadang. 

Ikut Ibu ke Pasar
Saat aku ikut ibu ke pasar, itu kesempatanku meminta Ibu untuk membelikanku mainan dan peralatan melukis seperti kuas dan cat air pencet, dan buku gambar. Sebab aku sangat hobi melukis. Setiap hal dan benda yang kusenangi langsung menjadi objek lukisanku.

Ibu tidak pelit dalam membelikanku mainan dan apa yang kubutuhkan namun Ibu juga tidak selalu memenuhi keinginanku dengan alasan yang bijak dan menjelaskan kepadaku mana yang lebih penting, makanan atau mainan. Ya..karena perutku lapar, aku lebih memilih makanan saja. Jadi kalau ibu ke pasar membeli barang-barang jualan untuk mengisi warung di kampong, Aku dan ibu selalu singgah di tempat teman ibu yang berjualan sate. Aku dan Along sangat menyukai sate sapi yang ditambah lontong. Setiap Ibu ke pasar, jika Aku dan Along tidak ikut, Aku pasti pesan sate. Kadang ibu membelikan mainan untukku tanpa kuminta. Aku masih ingat mainan karet berbentuk boneka harimau yang lucu saat dipencet perutnya mengempis dan mengeluarkan bunyi. Waktu itu aku masih balita, baru bangun dari ayunan yang dibuat dari kain sarung yang digantung dan diberi bantal sebagai alas tidurku. Memang sudah menjadi tradisi anak-anak kecil di kampungku setiap ibunya menina-bobo’kan mereka, mesti di buat ayunan seperti itu. Di bagian atasnya dipasang besi per dengan gaya pegas (bandulan pegas) didesain khusus oleh pengrajin untuk bayi dan anak-anak.
Pergi ke Tukang cukur bersama Ayah
Sebuah pengalaman yang mengasyikan dan menyenangkan di masa kecilku ketika aku dibawa pergi ke tempat memotong rambut. Semenjak kecil, aku sering dibawa ayah pergi ke rumah tukang pangkas dan cukur rambut dengan sepeda ontel. Rambutku selalu digunting pendek dengan model jambul di depannya. Aku mengenalnya dengan guntingan ala tentara. Dulu guntingnya seperti ketam, jadi saat digunting kulit kepalaku seperti dipijat-pijat. Kadang aku keasyikan dan terlelap sejenak, tak sadar air liurku menetes dan memanjang seperti benang. Semenjak aku sudah duduk dibangku SD, ayah jarang membawaku pergi ke tukang cukur. Biasanya ibuku yang membawaku ke pasar dan mengajakku ke tukang cukur di bawah jembatan. Sebab di sana biaya jasa potong rambut lebih terjangkau dibandingkan dengan toko Salon. Setiap kali rambutku terlihat panjang, aku selalu dibawa Ibu atau ayah ke tempat tukang pangkas rambut. 

Kenakalan di masa kecil
Umumnya anak kecil suka bermain air, begitu pula diriku. Jika aku mandi bisa tahan berjam-jam berendam dalam bak/baskom (wadah plastik) khusus tempat memandikan bayi. Ibuku membelikan tempat itu sewaktu Alongku masih bayi, dan sekarang masih bisa untuk tempatku mandi berendam. Ada sensasi tersendiri saat tubuhku berada dalam rendaman air. Saat umur balita inilah saat-saat aku mencoba-coba menjadi ilmuan kecil. Aku senang bermain air, pasir, tanah liat, batu-batu, dedaunan, dahan dan ranting, balok-balok kayu bekas potongan bahan rumah, bahkan sampah-sampah seperti kulit permen, sedotan (pipiet) kaleng bekas, botol plastik, kotak kardus dan apa saja yang menurutku bisa dijadikan mainan. Kreativitasku berkembang semenjak aku suka bermain bersama teman-temanku. 

Aku pernah tertabrak sepeda ontel saat aku iseng menyemprot-nyemprotkan air dengan alat suntik bekas yang dijual mamang Ngekngok[6]. Saat itu aku asyik bermain alat suntik, ketika ada sepeda ontel lewat, lalu kusemprot orangnya. Semprotan air itu membasahi matanya, tak ayal lagi sepeda pun oleng hilang keseimbangan. Entah bagaimana, sepeda itu jatuh mengenaiku. Aku pingsan tidak sadarkan diri.

Karena sejak kecil kebiasaanku suka menggambar apa yang kuimajinasikan, aku tak peduli mau di mana aku menggambar. Kebetulan Aku dan Alongku menemui spidol. Dan kami lihat ada dinding triplek baru yang mulus. Spontan kami mendekati dinding triplek itu, lalu memulai mencorat-coret dinding. Maklum aku dan Along saat itu belum cukup umur untuk sekolah. Saat itu kami masih tinggal di kampung. Ibu dan ayahku membuka warung menjual bahan sembako. “Isaat, mawaar..udah yo ayah kita’ datang kalla’ dimarahhe’nye[7]”cegah Ibu agar kami tidak lagi mencorat-coret dinding. Kami melihat ayah datang dari kebun, kamipun cepat-cepat kabur menyembunyikan spidol dan menjauhi dinding triplek itu. 

Biar aku tidak menggambar didinding dan sembarangan tempat, setiap kali ayah membuka kotak rokok satu slop yang akan dijual di warung, aku diberikan kotaknya. Kotak itulah yang kugunakan untuk menggambar apa saja. Sebab sisi bagian dalam kotak itu berwarna putih. Aku juga diberikan alat tulis berupa pensil dan bolpen. Hari-hariku ku isi dengan kegiatan menggambar jika teman-temanku tidak sedang mengajakku bermain.

Kadang akur kadang pula berkelahi saat bermain bersama Along. Saat keinginanku berbeda dengan keinginan Along atau berebut mainan dan kami tidak mau saling mengalah. Memang aku yang sering mencari gara-gara, suka menyakat (mengganggu) saat Along asyik bermain sendiri. “udahlah Along yang besar mengalah jak”ujar Ibu kepada Along. Along sering mengalah. Tapi jika ketahuan ayah kami bertengkar, ayah tidak mau pilih kasih. Ayah akan menghukum kami berdua. Kami pernah diikat ke tiang rumah oleh ayah untuk memberikan pelajaran kepada kami agar tidak berkelahi lagi. Saat kami diikat begitu kami meraung menangis minta ampun kepada ayah. “heran, mun bemaing dengan anak urang kita’ akur ndak pandai kelahi, tapi mun dengan dek beradek sorang suke besakat[8]”ujar ayah. Ada-ada saja yang kulakukan membuat Ibu dan ayahku kesal dan marah.

Terkadang Ibu dan ayah bertengkar gara-gara berbeda pendapat bagaimana cara mendidik anak-anak. Tapi bertengkarnya Ibu dan ayah tidak dihadapan kami. Aku dan Alongku cuma menguping saja dibaling dinding kamar, soalnya pintu kamar ayah dan ibu tertutup rapat. Kami belum begitu mengerti bahwa Ibu ternyata membela kami. Ibu tak tega jika setiap kali kami berbuat kesalahan selalu dimarahi dan dipukuli. Tapi ayah juga tak mau jika anak-anaknya kelak menjadi anak yang manja dan pelawan (durhaka) dengan orang tua.

Permainan Anak-Anak Pedesaan 
Aku, Along dan beberapa teman-temanku senang bermain baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Jika di dalam rumah kami bermain keluarga-keluargaan (bermain peran). Ada yang jadi Ayah, Ibu dan anak. Karena aku yang paling kecil jadi aku sering jadi anak. Along (kakak)ku selalu menjadi ibu, karena ia yang lebih tua dari kami. Lalu kami membuat tenda dari kain selimut tidur yang diikatkan ke kaki-kaki kursi rotan yang sengaja dibuat terbalik. Dengan sedemikian rupa tenda untuk satu keluarga kubuat. Aku sering menjadi arsitek kecil yang mendesain dan merancang bagaimana bentuk tenda yang bagus. Begitu pula jika sedang bermain di luar rumah, kami mencari kebun sebagai tempat bermain, sebab di sana banyak tersedia bahan-bahan alam untuk membuat rumah-rumahan. Seperti daun pisang, pelepah pinang, daun kelapa, kayu dahan dan ranting, daun-daun dan semuanya bisa disulap jadi sebuah pondok mungil. Kalau di luar kami bermain kerajaan. Ada yang jadi Raja, Ratu, Pangeran, Permaisuri, Puteri, pengawal dan lainnya. Bahkan permainan perang-perangan juga terjadi untuk memperebutkan istana yakni pondok yang telah dibuat. Permainan ini kami lakukan diwaktu hari minggu atau hari libur. Karena ada perang-perangan, anak laki-laki sangat kreatif dalam membuat perlengkapan perang, seperti pedang kayu, ada juga senapan dari sulur daun pisang, ada juga senapan lantak dari aur (sejenis bambu kecil) yang diisi dengan peluru biji-bijian atau kertas Koran yang direndam basah lalu diperas dan dibulat kecil. Jika tertembak peluru itu, rasanya cukup pedas di kulit. Cukup seru dan menegangkan, berperang dan bertempur di kebun. Tapi, syarat peran ini tidak boleh memukul benaran apalagi menyakiti lawan. Lawan yang menyerah harus ditawan dan dijadikan sanderaan kerajaan. 

Dilarang 'Ninding'
Ibu dan ayah kami membiarkan kami bermain dengan teman-teman. Beliau memahami kebutuhan psikologis dan sosial kami. Asalkan jika ingin bermain di luar rumah izin dulu dan jelas tujuannya ke mana dan bermain dengan siapa. Ayahku pernah mencari dan menyusulku ke rumah temanku, karena aku keasyikan bermain di rumah teman dari pagi hingga lupa untuk pulang pada siang harinya. Aku dimarahi habis-habisan, saat itu aku hanya diam. Aku belum begitu mengerti mengapa Ayah dan Ibuku memarahiku ketika jam siang tidak pulang ke rumah. Ibu dan ayahku berpesan, jangan diulangi lagi dan jangan menyusahkan orang tua. Jangan suka meninding (bertamu lama sekali dan sampai menumpang makan di rumah orang lain). Memang sewaktu kecil, aku ketahuan ayahku mendinding di rumah temanku. Kebetulan temanku mengajakku makan. Awalnya aku tak mau dan teringat pesan Ibu dan ayahku. “Dah..sat, laoknye nyaman (enak), laok kaki dan sayap ayam” godanya padaku. “emmm..gimane i..” “Udahlah, makan jak, kawan-kawan yang laing ikut makan”. Akupun menelan air liurku, tergiur dan tak dapat menahan keinginanku untuk segera menikmati lauk itu. Akupun ikut makan bersama teman-temanku.

Setelah aku dewasa, aku baru menyadari kesalahan yang telah ku lakukan dulu. Betapa sayangnya Ibu dan ayahku padaku. Mereka tak mau anaknya menyusahkan keluarga orang lain, biarlah anaknya makan dirumah sendiri dari pada menumpang makan dirumah orang lain. Meninding  itu dalam keluarga kami sangat memalukan dan tidak baik. Seolah, anak tak punya orang tua.

Sakit-Sakitan Sejak Kecil
Mimisan, asma (sesak nafas) dan paru-paru basah. Entah apa penyebabnya aku menderita penyakit tersebut. Saat demam panas tinggi, hidungku mengalami pendarahan, kadang darah yang keluar dari lubang hidung itu cair terkadang pula ada yang beku. Memang sewaktu masih balita akibat kebodohanku sendiri, saat aku memakan kacang rebus bersama Along (baca: kakak) di rumah. Aku memasukkan biji kacang rebus itu ke dalam lubang hidungku dengan cara disedot. “Long, ni lihat, aku bisa sulap macam di TV” ujarku sambil memegang sebiji kacang rebus yang di rebus Ibuku. “Ha..,gimane”Tanya Alongku. Akupun melakukan hal bodoh itu. “Sssssssssruuup”, sebutir biji kacang pun masuk menempel di ujung rongga hidungku. “Naaah, gimane Long, hebatkan,” ujarku. “Waah…hebaat kamu dek” jawab Along sambil bertepuk tangan. Kamipun melanjutkan menghabisi kacang rebus itu di dalam mangkuk.

Tiga hari kemudian, Ibuku agak curiga dan menanyaiku, “Sat, ngape hidungmu bau busuk” Tanya Ibuku khawatir. “Ku masukan kacang” jawabku polos tanpa merasa bersalah. Tak ayal lagi ibukupun segera mencari informasi dan bertanya-tanya kepada tetangga obat apa kira-kira yang baik untuk mengeluarkan biji kacang di dalam hidungku. Akhirnya, Ibuku mendapatkan cara dari salah satu tetangga, “coba aja mintakan air rendaman gigi badak bu” ujar tetangga. “Di mana?”Tanya ibuku. “Biasanya, orang-orang tua dulu-dulu ada menyimpan untuk obat. Coba Tanya sama orang-orang di hilir sana, saya juga kurang tau Bu” ujar tetangga itu. “Ayahku, memboncengi Aku dan Ibuku dengan sepeda ontel pergi ke hilir kampung. Ibu dan ayahku bertanya-tanya kepada warga sekitar, siapa yang masih menyimpan air rendaman gigi Badak. Memang di kampungku sangat jarang dijumpai orang-orang yang masih menyimpannya. Sebab, hewan Badak itu juga lama sekali telah punah. Orang kampong percaya, air rendaman gigi badak itu punya khasiat untuk pengobatan. Syukurlah, Ibu dan ayahku ketemu dengan orang yang masih menyimpan air rendaman gigi badak itu. Ibuku dan ayahku berhenti di sebuah gubuk tua beratapkan daun, rumahnya tampak miring dan peyot. Ibuku yang menuju ke sana, sedangkan Aku dan ayah menunggu di jalan. Khawatir jika kami bertiga masuk, rumah nenek itu roboh. Ibuku melangkah dengan sangat hati-hati, Ibu mengucap salam dan masuk. Tak berapa lama kemudian, ibu membawa bungkusan berisi air rendaman gigi badak yang dimasukan ke dalam botol plastik. Lalu kamipun kembali pulang ke rumah. 

Ibu dan ayahku sering membawaku ke puskesmas dan rumah sakit untuk memeriksa kesehatanku. Memang aku sedari kecil mengalami sesak nafas (asma). Terutama ibu selalu memperhatikan perkembangan kesehatanku. Dadaku dirogtien dengan sinar x untuk mengetahui kondisi lender yang masih menutupi rongga paru-paruku. Berapa uang telah dihabiskan untuk mengobatiku.

Minum Obat selama setahun
Berdasarkan resep dokter, aku mesti menjalani pengobatan selama setahun untuk memperbaiki paru-paruku yang telah lembab akibat lendir. Setiap hari Ibuku memberikan obat puyer serbuk yang telah diracik oleh apoteker. Ketika obat habis, ibu mesti pergi lagi ke apotik untuk membeli obat itu untukku.

Buka Warung dan Agen Jeruk Siam
Kesuksesan ayah dan ibu membuka warung dan usaha berupa agen penampungan jeruk siam di desaku cukup dikenal masyarakat. Ibu dan ayah terkenal sangat ramah dan baik dalam melayani pelanggan atau konsumen bahkan menjadi teladan bagi para karyawan. Namun sayang, usaha itu mulai merosot dan gulung tikar. Semenjak keluarga kami ditimpa musibah, yakni Ayah,Ibu, aku dan saudaraku menderita sakit-sakitan. Dan yang anehnya dan sangat tidak logis kami jatuh sakit secara bergilir. Ternyata setelah diselidiki oleh Pak De (adik dari Ibuku, paman)ku dibawah tanah rumah kami ditanami batu nisan orang mati. Dan ini dipercaya sebagai benda perantara untuk menyantet keluarga kami. Ada orang yang tidak senang dan dengki dengan kesuksesan usaha keluarga kami.  

Hijrah ke Kota
Sebelum kami sekeluarga pindah, ayah terlebih dahulu pergi merantau ke Kota Pontianak untuk berjualan Paddak (udang kecil yang difermentasi) dan petai secara keliling dengan engkolan sepeda ontelnya. Sembari berjualan, ayah mencari-cari tempat untuk nantinya bisa didiami keluarganya. Dengan kata lain, ayah melakukan survey lokasi agar bisa dijadikan tempat usaha sekaligus tempat tinggal. Setelah menemukan tempat yang cocok, kami sekeluarga pun berpamitan dengan orang-orang kampong dan berangkat menuju Kota Pontianak. 

Tempat yang kami diami pertama kali di Kota ini sangatlah kotor. Sebab, dulunya, rumah ini dijadikan sebagai bengkel orang china. Lantai rumah itu  hitam pekat berdebu, belepotan oli yang mengering. Jika kaki diinjakkan ke lantai itu, telapak kaki menjadi hitam dan kotor. Dicelah-celah lantai masih ada tertinggal sekrup (baut), dan mimis (bola-bola kecil yang biasa digunakan untuk ban sepeda motor). Kolong rumah juga sangat rendah, tak heran jika tikus, ular, lipas (kecoa), sering masuk dan berkeliaran di dalam rumah. Sarang laba-laba di langit-langi atap juga banyak. Kamipun sibuk berkemas dan membersihkan segala sudut ruang rumah baru kami. Meskipun rumah ini hanyalah sementara dan kontrakan, ayah telah bersusah payah berkeliling mencari tempat yang pas dan strategis. 

Cukup banyak sudut-sudut dan bagian yang mesti diperbaiki agar rumah ini tidak terkesan menyeramkan. Ayah memanggil tukang untuk mengubah beberapa bagian dan menambah bagian depan agar layak dijadikan warung kopi. Seperti pembuatan meja, bangku, perlengkapan gelas, piring, sendok serta alat pemanas air dan gas. Selain itu tidak hanya kopi yang dijual. Ibu dan ayah membuka warung sembako dan barang kebutuhan sehari-hari. Serta menjual mie goreng, nasi goring, bakso, goreng pisang, bakwan, tahu, dan tentunya dilengkapi dengan minuman es. Dengan dibukanya warung kami juga memberi peluang rezeki bagi warga setempat untuk menitipkan kue-muenya. 

Sewaktu kami pindah ke Kota ini, aku masih duduk di bangku kelas 4 SD. Ayahku mendaftarkanku masuk ke sekolah baru di SDN 45 Gg. Jarak. Sungguh inilah pengalaman terbaruku menjadi murid pindahan dari sekolah lain. Aku sangat senang mendapatkan teman-teman baru, guru baru dan sekolah baru. Ada seorang guru yang paling berkesan bagiku hingga sekarang. Beliau biasa di panggil Pak Amat. Pak amat sangat baik dan sayang kepada anak-anak didiknya. Hingga kisah ini ditulis, Pak Amat masih mengajar di Sekolah itu. Dedikasinya pada dunia pendidikan sangat diacungi jempol.

Jarak tempuh dari rumah baru kami dan sekolah memang tidak terlalu jauh, sehingga aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Di sekolah aku tidak terlalu senang dengan pelajaran olahraga, sebab fisikku mudah lelah dan capek. Sewaktu masih kelas 1 SD saja, aku pernah pingsan dilapangan karena tidak kuat berdiri berlama-lama saat upacara bendera setiap hari senin.

Operasi Kaki
Saat ku injakkan telapak kaki kananku, agak terasa sakit dan ngilu. Sudah lama hal itu kurasakan tapi aku sangat sulit memberitahu orang tuaku, khawatir mereka marah dan menyusahkan mereka. Ternyata, rasa sakit itu akibat infeksi dari karat paku yang pernah menusuk kakiku semasa masih duduk di bangku SD di kampung. Aku teringat waktu itu aku bermain sengalawan (berkejar-kejaran) bersama Ami, dan beberapa sahabat kecilku di agen jeruk siam samping rumah nenek dan kakekku sebelah Ibu. Secara tidak sengaja kakiku menginjak salah satu paku berkarat. Spontan aku bergerak refleks dan kesakitan, darahpun mengalir ditelapak kakiku. 

Sepulang di rumah, Ibuku mengobati kakiku dengan obat tradisional yang ia ketahui dari temannya orang china. Kakiku dibersihkan, Ibuku memukul-mukul telapak kakiku untuk mengeluarkan darah kotor pada lukaku, tak ayal lagi aku menjerit meringis kesakitan. Mulut Ibu sambil mengomeliku. Telapak kakiku dibalut perca (kain bekas) yang di dalamnya ditaruh kunyit dan nasi yang telah ditumbuk dan ditempelkan pada lukaku.

Saat pindah ke kota, rasa sakit di telapak kaki bekas tertusuk paku itu masih terasa. Ibu membawaku ke rumah sakit untuk memeriksakan kalau-kalau ada apa-apa yang terjadi pada kakiku. Pihak dokter rumah sakit besar menyarankan untuk mengoperasi kakiku dengan biaya Rp. 1.150.000,- Ibu dan ayahku tidak dapat menyanggupi biaya sebesar itu. Karena saat itu biaya sebesar itu sangatlah tidak mampu dipenuhi. Sedangkan keuntungan perhari warung belum bisa menutupi modal awal warung dibuka. Ayah dan Ibu sudah banyak menghabiskan biaya untuk pembenahan dan perbaikan usaha warung kopi. 

Ibupun membawaku pulang dari rumah sakit. Ibu meminta tolong dengan Ibu Dokter yang membuka praktek di rumahnya. Alhamdulillah dengan kebaikan hati Ibu Dokter, beliau menyanggupi untuk mengoperasi kakiku hanya dengan biaya Rp. 185.000,-. Meskipun Ibu Dokter berbeda agama dengan kami, beliau adalah seorang Kristiani. Kakiku dibersihkan dengan air dan alkohol. “Ya..,Satria ini pasti kuat ya, jadi gak perlu takut ya” sembari Ibu dokter melakukan suntikan pembius rasa sakit di kakiku. Seingatku beliau menyuntikan obat itu sebanyak tiga kali di telapak kakiku, barulah ia tes apakah masih terasa sakit saat kulit kakiku disayat. Setelah aku merasa tenang dan nyaman, Ibu dokter dan ditemani oleh perawatnya melakukan operasi kecil pada telapak kakiku. Sekitar 1 jam lebih operasi berlangsung. Saat Ibu dokter menjahit lukaku, memang masih terasa tapi tidak sakit. Operasipun selesai dilakukan. Ternyata yang menjadikan kakiku sakit adalah nanah yang membatu sebanyak 6 buah di lapisan epidermis kulit dalam dan dalam daging. Kata Ibu dokter, jika ini dibiarkan ia akan tumbuh menjadi tumor ganas yang dapat menggerogoti kaki, bisa-bisa kaki diamputasi. Iiiiih serem ya. 

Makanya teman-teman hati-hati kalau bermain, untuk adik-adikku hindari bermain di  tempat-tempat yang banyak paku atau benda tajam. Atau sebelum bermain di tempat itu, periksa dulu aman atau tidak dari segala hal yang membahayakan diri. Oke.

Acara Selamatan Khitanan
Setelah kenaikan kelas, masa libur pun telah tiba, anak-anak riang bermain. Tapi tidak dengan aku. Aku di masa libur kenaikan kelas VI SD, aku akan disunat (di-khitan). Aku disunat secara sendiri oleh seorang mantri (dokter praktek). Beragam ketakutan terlintas dalam benakku, aku teringat kata-kata temanku di kampong yang sudah sunat,”kalau di sunat itu menyakitkan hampir nak mati” ujar temanku,  “iya, di sunat pakai kapak dan gergaji”tambah temanku. Aku tampak semakin takut. Tapi rasa ketakutanku itu sirna setelah mendengar kata Ibu, “sunat itu macam digigit semut atau kerangge  (kerangga berwarna coklat) jak”. Tibalah masanya aku disunat. “Mungkin rasanya hampir mirip saat aku operasi kaki dulu”pikirku. Ya..sudahlah. Ayah yang mengantarku ke rumah Pak Mantri. “Usah kau lihat itu, nanti ngeri” kata ayah dan pak Mantri. “ Ternyata benar, meski pertama kali agak terasa sakit, terutama saat jarum suntik ditusukan, tapi jika kita dalam kondisi tenang, maka sakit akan berkurang apalagi obat bius sudah masuk ke titik-titik syaraf rasa sakit yang dilumpuhkan untuk sementara. 

Setelah beberapa hari selesai aku di-sunat, dilakukan acara selamatan khitanan ku. Aku berpakaian koko dan kain sarung. Ibu dan ayah memanggil para jamaah masjid dan tetangga dekat untuk menghadiri selamatan khitananku. Sejak itu aku belum begitu mengerti mengapa setiap anak laki-laki muslim dan perempuan itu mesti di-khitan.

Baru ku sadari, menginjak usia baligh kita selaku umat Islam mesti mengikuti sunnah Rasulullah saw. terutama dalam hal menjaga kesucian lahir dan batin. Khitan bukanlah tradisi, namun syariat agar manusia dapat menjaga kebersihan dan kesehatan kemaluannya. Sebab, jika kotoran masih tertinggal dibalik kulit kemaluan, maka, itu dapat membusuk, mengundang bakteri dan virus sehingga timbul berbagai penyakit kelamin. 

Masuk Rumah Sakit Soedarso Pontianak
Waktu itu Aku masih duduk di kelas 6 SD. Sekolahku tidak jauh dari rumah kami. Semenjak kami pindah merantau ke kota, ayah mengontrak rumah di pinggir jalan raya Kota Pontianak untuk kemudian membuka usaha warung kopi. Alhamdulillah, banyak masyarakat yang berdatangan untuk singgah. 

Aku adalah anak yang suka sekali mengerjakan tugas sekolah yang berhubungan dengan kerajinan tangan atau seni. Ketika Aku dan teman-teman sekelas mendapat tugas mengerjakan gambar anatomi manusia dan tugas kelompok matematika, yakni membuat model bangun ruang dalam bentuk kecil dengan bahan kertas karton dan manila (karton tipis berwarna). Malam itu malam jum’at, aku mengerjakan pekerjaan itu malam itu juga. Ayahku menyarankanku agar pekerjaannya dilakukan pada besok harinya saja. Tapi peringatan ayah tidak terlalu kuindahkan. Aku tetap bersikeras mengerjakan pekerjaan itu.  Aku mengetok-ngetuk paku dengan palu untuk membuat bingkai sebagai pajangan hasil karyaku dan teman-teman sekelasku. Eh, ternyata, kayu yang kugunakan masih kurang, aku turun malam itu juga, sementara Ibu dan Ayah sibuk melayani pelanggan di warung kopi kami. Saat itu hujan gerimis, aku pergi sendiri mengambil kayu reng (kayu bekas) meubel di samping warung kami. Bulu kudukku merinding saat mengambil kayu itu entah kenapa. Akupun menepis perasaan itu dan kembali pulang ke rumah dan menyelesaikan pekerjaanku, sebab besok mesti sudah dikumpulkan.

Pagi hari Jum’at, sepulang dari sekolah, tubuhku terasa berat, seperti ada orang yang minta gendong dipundakku. Tubuhku semakin lemah. Aku terserang demam, tubuhku terasa panas dan dingin yang tidak menentu. Ibu dan ayahku memanggil Bu Ester, Mantri (Dokter yang membuka klinik di rumah dan bisa dipanggil ke rumah) yang cukup dikenal oleh Ibuku. Aku diperiksa, mata dan mulutku disentari, denyut jantungku dan tekanan darahku diperiksa dengan Stetoskop. Bu Mantri merasa agak aneh, apa yang didengarnya dan gejala yang timbul juga menyulitkan Beliau untuk menganalisa penyakit yang ku derita. Meski Beliau seorang Kristiani, beliau juga meyakini bahwa itu bukan sekedar gejala medis, sehingga beliau hanya memberikan obat demam sesuai dosis untuk anak seumuranku. Namun untuk gejala yang lainnya, beliau angkat tangan (tidak bisa menangani).

Aku menderita demam tinggi, menurut kepercayaan masyarakat setempat kesambetan (diganggu) oleh makhluk halus (jin). Ibuku sempat membawaku berobat dengan seorang nenek yang dulunya pernah mati suri dan setelah hidup kembali ia dipercaya masyarakat diberikan kelebihan oleh Tuhan sebagai perantara kesembuhan orang yang sakit. Setelah nenek itu memegang ubun-ubunku dan sendi tanganku sejenak. Aku melihat nenek itu membacakan doa dan meniupkannya di atas botol berisi air yang ibu bawa. Lalu nenek itu melingkarkan tasbihnya ke atas botol sambil komat-kamit. Dan setelah itu mengambil kembali tasbihnya.

Aku mengalami sesak nafas, ayah melarikanku ke rumah sakit. Dengan meminta bantuan tetangga yang punya mobil sedan, aku dibawa ke rumah sakit pada malam hari. Sesampai di rumah sakit, dokter memeriksaku, kata dokter tidak apa-apa, Cuma sesak nafas biasa. Sehingga aku dibawa pulang lagi oleh ayah.

Ayahku kenal dekat dengan seorang ustadz, beliau memang dipercaya masyarakat setempat dapat menjadi perantara kesembuhan penyakit akibat gangguan makhluk halus (Jin). Lalu ustadz menemuiku dan membacakan doa-doa kepadaku. Aku saat itu masih sadar dan teringat, ustadz menyarankanku untuk perbanyak membaca surah Al-Ikhlas saat sebelum tidur. Aku cuma menganggukan kepala. Namun cuaca saat itu agak muram, gemuruh dan petir menyambar memekakan telinga yang mendengarnya. Semangat dan jiwaku semakin ciut. Tiba-tiba aku merasakan energi lain di dalam tubuhku yang berontak. Aku seperti ingin muntah dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhku, namun fisikku saat itu sangat lemah. Ibuku selalu membisikanku untuk istighfar dan banyak-banyak ingat Allah dan membaca surah Al-Ikhlas. Saat tubuhku berontak tak terkontrol,aku memarahi siapa saja yang mendekatiku tanpa sebab, kecuali Ibuku entah kenapa saat Ibu bersamaku terasa tenang. Energiku terkuras setelah aku berontak keras, tubuhku kembali lunglai.

Namun beberapa hari kemudian kondisiku semakin parah, tubuhku lemah lunglai. Leherku seolah terpilas patah dan wajahku tampak pucat. Dibagian leherku tampak warna kebiruan seperti dicekik dan dicakar. Aku dibawa dengan mobil Ambulance. Sirine ambulan yang mengaung dan sayup-sayup ditelingaku, saat itu aku setengah sadar, mataku melihat sinar matahari yang seolah meninggalkan ambulan yang melaju. Perasaanku saat itu seakan aku akan berpisah dengan kehidupan dunia ini. Tubuhku sudah di kenakan impus. Lalu akupun tak sadarkan diri.

Sesampainya di rumah sakit, tubuhku didorong menggunakan tempat tidur beroda dan memasuki ruang ISU. Kesadaranku sudah tidak begitu stabil. Mulutku tertutup rapat dan nafasku sesak. Aku diberikan bantuan oksigen untuk bisa bernafas, kedua tangan dan kakikupun diimpus. Sedangkan saat itu aku tidak bisa makan lewat mulut, sebab mulutku tertutup rapat. Dokter berinisiatif menggunakan selang untuk disalurkan ke rongga hidung sampai lambungku. Dengan bantuan perawat, lalu selang itu perlahan dimasukan. Ternyata selang yang dimasukan itu adalah selang untuk ukuran dewasa, akibat ketidaktahuan perawat saat itu. Akupun tersentak kesakitan saat selang memasuki rongga hidungku. Setelah selang itu diganti dengan ukuran sesuai untuk usia anak-anak, barulah selang itu berhasil masuk hingga lambungku. Selang inilah yang berfungsi sebagai penyaluran makananku yang saat itu cuma susu. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan bagi ibuku, Ibuku tak tega melihatku. Ketika aku mencoba menahan rasa sakit ganjalan selang dalam rongga hidung sementara ayahku menuangkan perlahan air susu dengan corong kecil lalu masuk mengalir ke dalam selang itu.

Aku menderita penyakit komplikasi. Suster beberapa kali mengambil sample darahku untuk diuji ke Laboratorium. Mendiagnosa penyakit apa yang kuderita. Dokter beberapa kali mengadakan pemeriksaan terhadapku, Dokter heran dengan gejala penyakit yang ku derita. Sunggu penyakit yang aneh. Sesekali aku memberontak tak terkontrol bahkan jarum impus yang terpasang di kedua tangan dan kakiku ku cabut hingga tangan dan kakiku  berlumuran darah. Akhirnya untuk antisipasi, tangan dan kakiku diikat di tempat tidur yang terbuat dari besi, aku seperti pasien yang tidak waras dan dipasung. Tidak diketahui apa penyebab aku bisa berontak seperti itu, perasaanku saat itu sama sekali tidak kusadari. Saat kesadaranku kembali, aku hanya merasakan sekujur tubuhku lemah dan tak berdaya.

Prediksiku, secara medis syaraf motorikku terpengaruh oleh obat-obatan kimia yang diujicobakan kepadaku. Sebab, kemungkinan zat-zat kimia yang masuk ke dalam tubuhku itu tertolak oleh antibodi. Dengan kata lain, obat-obat itu tidak cocok. Bisa jadi pula, obat yang diberikan kelebihan dosis. Aku teringat, saat ayah menyuapiku obat-obatan yang diberikan dokter, aku malah memuntahkan semuanya. Ayahku agak marah dan kesal padaku, “udah mahal-mahal beli obat, malah dimuntahkan”katanya. Itu bukti bahwa tubuhku tidak dapat menerima obat-obatan itu. Karena kita ketahui bahwa, obat-obat sintetis itu umumnya mengandung zat adiktif berbahaya makanya harus digunakan sesuai dosis.

Kepalaku dimasukan ke dalam alat khusus untuk me-rontgen[9] otak. Prediksi dokter syaraf, dikhawatirkan aku menderita geger otak atau gangguan syaraf. Ibuku siang malam shalat dan berdoa di samping tempat aku berbaring. Syukurlah setelah dirontgen, hasilnya negatif. Dengan kata lain, otakku normal. aku tidak memiliki kelainan pada syaraf otak. Dokter semakin bingung dengan gejala penyakit yang ada padaku. Secara medis, penyakitku tidak terdeteksi. Yang lebih membingungkan adalah aku terkadang sadar dan dapat berbicara dengan siapa saja yang mengunjungiku, membaca surah Yasin, membaca majalah anak-anak, dapat bercerita apa yang kurasakan selama diriku berada di alam bawah sadar namun terkadang pula tidak sadar sama sekali.

Azan dan membaca Yasin di Rumah Sakit
Hal yang kulakukan secara tidak sadar adalah mengumandangkan azan dan lancar melafadzkan surah Yasin di rumah sakit. Padahal saat itu aku belum pernah menjadi muazzin dan tidak hafal surah Yasin. Perasaanku Aku seperti dikunjungi oleh beberapa sosok orang alim secara bergantian di atas kepalaku, mereka membacakan surah Yasin dan mendoakanku. Setelah aku sadar, aku menceritakan hal itu pada Ibuku. Sehingga Ibulah yang tahu persis apa yang terjadi pada diriku. Kata orang pandai, tubuhku dimasuki oleh jin muslim. Ia kemungkinan bermaksud membantuku untuk mengusir jin jahat yang juga merasuki tubuhku.[10]

Antara Mimpi dan Kenyataan
Saat itu Aku bingung membedakan mana alam mimpi dan kenyataan. Akibat jiwaku sering berada di alam bawah sadar. Saat mataku terbuka dan kulihat aku sedang berada diruangan, di sekelilingku ada terbaring pula pasien lain yang lebih parah dariku. Kedua pasien itu adalah anak-anak kembar siam yang telah selesai dioperasi bagian batok kepalanya akibat cairan yang berlebihan di dalam kepalanya. Cairan itu disedot untuk dikeluarkan. Aku melihat suasana diluar, seolah aku bukan berada di alam nyata. Perasaanku kacau, kepalaku sangat pusing seperti sedang berada di dalam kapal yang dilanda gelombang air laut. Seisi ruangan ini seolah bergoyang-goyang. Hanya Ibulah satu-satunya yang meyakinkanku bahwa aku saat ini terbangun dari tudur yang sangat lama. Mungkin itu pengaruh obat yang kuminum. 

Ibu selalu di dekatku
Ibu menemaniku, menyuapiku bubur ayam setiap pagi. Bubur itu memang setiap pagi, siang dan malam disediakan oleh pihak rumah sakit. Maklumlah menu di rumah sakit kadang tidak sesuai selera dan terasa tawar di lidah. Kadang ibu menyiapkan makanan kesukaanku sejak kecil. Yaitu bubur yang dicampur abon sapi. Saat aku ingin membuang air ludah dan dahak ku yang menumpuk dimulut, ibulah yang menadahkan tempat air ludahku dan mengelap air ludahku yang masih tersisa di mulutku. Ibu pula yang setia mendengarkan ceritaku saat aku berada di alam bawah sadar. Kata-kata ibu membuatku nyaman dan tenang. Aku diajak agar lebih banyak bersabar dan ingat kepada Allah swt., berdoa sebelum tidur dan membaca surah-surah pendek yang telah kuhafalkan. Ku lihat wajah ibu yang kecapean mungkin jarang tidur untuk menjagaku dan baju yang dikenakannya sangat sederhana. Sungguh kasih sayang Ibu memberikan semangatku untuk kuat menghadapi cobaan penyakit yang kuderita.

Koma
Wajah ayah menjadi pucat pasi melihatku tiba-tiba sesak nafas dan seakan hendak menghembuskan nafas terakhir. Ayah segera berlari memanggil suster dan dokter untuk segera memberikan pertolongan kepadaku. Dengan sigap dokter khusus beserta perawat yang menanganiku memasang alat bantu pernapasan dan oksigen dengan tabungnya. Serta alat setrom detak jantung. Dadaku disetrom dengan alat kejut listrik (defribillator)[11], tubuh mungilku terperanjat, saat itu aku benar-benar tak sadarkan diri. Sampai setroman yang kesekian kalinya, Alhamdulillah, denyut jantungku kembali normal.  Sayup-sayup suara dokter dan suster memanggil-manggil namaku, "Satria..Satria...Satria...!".. buka mata Satria...,sambil suster menepuk-nepuk pipiku, kugerakkan bola mataku perlahan ku buka kelompak mataku. "Syukurlah dia sudah siuman" ujar Dokter spesialis anak, sembari menganalisa denyut jantungku dan pernapasanku yang mulai perlahan stabil. Tubuhku lunglai, sangat lemah tak bertenaga, perasaanku masih terombang-ambing layaknya seperti di dalam kapal yang terkena gelombang dahsyat.

Berada di Gerbang alam Ruh (Pengalaman Saat Mati Suri)
Ketika para dokter dan perawat sibuk melakukan pertolongan dengan kejutan listrik itu, aku tak sadarkan diri. Jiwaku serasa berada di sebuah gerbang penuh cahaya. Tempat di sana sungguh aneh dan indah. Sangat berbeda dengan apa yang pernah kurasakan di alam nyata. Aku pernah bertemu orang yang sudah meninggal. Bahkan melihat dari kejauhan orang-orang penghuni surga dan neraka. Saat aku hendak mendekati perkumpulan mereka, ada seseorang yang melarangku, “nak jangan ke sini..,pulanglah kamu belum saatnya”ujar salah seorang di antara mereka. Dalam bidang kedokteran, kondisi ini disebut sebagai Near Death Experience (Mati Suri) [12]

Keluar dari Rumah Sakit
Selama sebelas bulan aku dirawat di rumah sakit. Namun kondisi psikisku malah tidak semakin membaik. Ibu dan ayah menginginkan aku rawat jalan saja (dirawat di rumah namun selalu konsultasi ke Dokter setiap perkembangan yang terjadi pada diriku). Ayah memanggulku keluar dari rumah sakit sambil berlari kecil. Aku sungguh ketakutan saat itu, aku tak mau didorong menggunakan kursi roda oleh seorang perawat. Perasaanku sedang kacau, aku takut perawat itu juga jelmaan dari iblis dan akan mencelakaiku. Pendengaran dan Penglihatanku juga sangat aneh dan menakutkan selama di rumah sakit, apalagi ketika aku ditempatkan tidak jauh dari kamar mayat. 

Dititipkan di Rumah Ustadz Ibrahim
Aku tidak langsung dibawa pulang ke rumah tempat Ibu dan ayah membuka usaha warung kopi. Aku dititipkan di rumah seorang ustadz. Beliaulah yang banyak berjasa membantu keluarga kami saat kami dalam kesusahan. Aku saat itu lupa dengan diri sendiri. Ustadz hampir setiap malam membacakan doa dan meniupkannya di atas ubun-ubunku. Entah doa dan bacaan apa yang beliau baca sehingga aku bisa tenang dan tertidur pulas. Sering kali Ibu menjenguk dan memantau kondisiku. Aku hanya ingat pada ibuku sedangkan kepada orang lain aku terlupa. Bahkan ketika teman-teman SD ku menjengukku di rumah sakit, aku malah mengusir mereka. Salah satu temanku dengan mimik sedih dan mata berkaca-kaca mendekatiku tanpa berkata apa-apa, lalu ia mencium pipiku dan kemudian beranjak pergi. Maafkan aku wahai sabahat-sahabatku, aku tak bermaksud menyakiti hati kalian, saat itu pikiran dan perasaanku benar-benar kacau.

Pulang Kampung
Ibu dan ayah membawaku pulang ke kampung. Mudah-mudahan dengan dibawa ke kampung di mana aku dilahirkan dan dibesarkan akan mengembalikan ingatanku seperti semula. Ibu dan ayah di dalam perjalanan selalu menanyaiku. Sesampainya di kampung halaman, Ibu dan ayah membawaku ke rumah Aki dan Uwan (baca: kakek dan nenek) yakni Orang tua dari Ibuku. Aku sembari menemui Aki dan berbincang-bincang dengannya. Memang sejak kecil aku sangat akrab dengan Aki. Meski kini Aki telah lumpuh, ketika mendengar dan melihat cucunya datang, ia bangkit dari tempat tidurnya dan berensot (ngesot) karena kakinya juga telah lumpuh. Aki dan Uwan tak pernah terlupakan olehku. Lalu Ibu dan ayahpun untuk sementara waktu menumpang tinggal di rumah Aki dan Uwan demi kesembuhan dan kepulihan ingatanku. Ibu dan Ayah sembari mengucap hamdalah dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ingatanku pulih total
Perlahan ingatanku menjadi pulih semenjak kami sekeluarga tinggal di kampung. Lalu Aku dibawa kembali ke kota untuk mengikuti ujian susulan yang sempat tertunda karena kondisiku yang sakit. Aku mengikuti UAN SD dengan sungguh-sungguh, ku isi soal demi soal. Akhirnya aku lulus. Aku ingin melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Ibuku mendaftarkanku ke SMP 5 Kota Pontianak. 

Masuk SMP
Aku sangat senang dan bahagia dapat diterima dan bersekolah di SMP Negeri 5. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) kuikuti seperti pramuka dan olahraga. Selain itu di sekolah ini setiap sore para siswa yang beragama Islam diwajibkan shalat ashar di Masjid Al-Falah. Siswa laki-laki membawa kopiah (peci) dan kain sarung sedangkan siswa perempuan membawa mukena dan kain sarung. Biasanya aku ke sekolah berjalan kaki, biasa juga pakai oplet (kendaraan umum/angkot). Kalau ada teman bawa Sepeda dan sedang tidak ada boncengan, aku menumpang sama mereka. Dulu para siswa banyak yang menggunakan sepeda. Kalau sekarang para siswa SMP sudah berani pakai sepeda motor padahal mereka belum cukup umur untuk memiliki SIM dan mengendarai kendaraan bermotor. 

Pindah Sekolah
Ketika aku naik kelas 2 SMP, aku terpaksa pindah sekolah lagi. Karena aku belum betah berpisah dari kedua orang tuaku. Keluarga kami harus pindah kembali ke kampung. Ayah menyewa tanah untuk tempat kami tinggal. Kamipun menetap di kampung. Aku dipindahkan ke sekolah swasta, yaitu SLTP PGRI 1 Tebas. Maklum, namanya juga sekolah swasta, siswa-siswa di sekolah baruku sangat nakal dan kurang berprestasi dari segi mata pelajaran. Saat aku di sekolah negeri aku mendapat peringkat ke 10. Sedangkan ketika di swasta aku mendapat peringkat ke 2. Yah..lumayanlah. Namun, siswa sekolah ini sangat berprestasi dibidang ekskul khususnya olahraga volley ball. Sering sekolah kami menjadi tuan rumah pertandingan persahabatan dan piala bergilir se-kecamatan. Meskipun, kami selaku siswa sekolah swasta dianggap sebagai siswa buangan dari sekolah negeri. Kami bisa menepis dan membantah momok itu. Siswa sekolah swasta tidak selamanya seperti apa yang dituduhkan. 

Ikut Jamaah Tabligh
Saat itu aku diajak Pak De (Paman, adik Ibuku) belajar agama bersama rombongan karkun[13]. Kebetulan waktu itu bulan Ramadhan, jadi kesempatan ku mengisi waktu untuk belajar dan mendalami ilmu agama. Ibu dan ayah mengizinkanku pergi bersama Pak De mencontoh napak tilas perjuangan Rasulullah saw. dalam mendakwahkan dan mensyiarkan agama Islam. Aku sangat senang belajar agama. Kami keluar (khuruj) selama tiga hari[14], berpindah-pindah dari Masjid ke Masjid lainnya di kampung lain. 

Menginap di Rumah Ustadz

Setamat dari SMP, aku ingin melanjutkan sekolah SMA. Namun karena kekurangan biaya, ayah dan ibuku menitipkanku dengan ustadz Ibrahim yang dulunya pernah menolongku dan dengan wasilah beliau, aku dapat sembuh dari penyakit lupa ingatan. Akupun diantarkan ayah dan Ibuku ke Kota Pontianak. “Nah..Sat, anggap ustadz ini sebagai ayahmu sendiri”ujar Ayah dan Ibu saat mengantarkanku di rumah ustadz. Selama di rumah ustadz, aku harus tahu membawa diri. Aku bekerja membantu pekerjaan rumah istri dari ustadz yang biasa dipanggil Mak Su seperti mencuci pinggan (piring), mangkuk, segala perabotan dapur, menyapu, mengepel, membersihkan kamar mandi dan WC. Demikian pekerjaan hari-hariku. Selain itu aku juga bertugas mengasuh anak-anak ustadz yang masih kecil seperti menidurkannya dan menjaganya saat Mak Su sibuk memasak dan mencuci serta ustadz sedang pergi ke luar rumah. Membantu ustadz mengisi formulir pendataan administrasi nikah. Sebab ustadz bekerja sebagai pembantu pegawai pencatat nikah (P3N) di Kelurahan Sungai Jawi Luar Pontianak Barat. Pekerjaan itu pada pagi harinya kulakukan, sebab aku masuk sekolah pada jam siang hingga sore di SMU Islam Bawari (Badan Wakaf Raudatul Islamiyah) Pontianak. 

Sekolah di SMU Islam Swasta
Meskipun aku bersekolah di SMU swasta, aku sangat senang dan bersyukur. Tak selamanya sekolah swasta itu jelek dan kurang mutu sistem pendidikannya. Meskipun terkadang aku mesti beradaptasi ketika berinteraksi dengan segelintir anak-anak yang jail dan nakal. Saat dikelas aku dikenal seorang siswa yang pendiam. Berbeda dengan teman-teman cowok yang lainnya cenderung ribut saat guru tidak di kelas (jam belajar kosong). Aku sadar, aku anak kampung yang belajar di kota. Jadi mesti tahu bawa diri, aku tak boleh terpengaruh oleh ajakan dan prilaku mereka. Aku yakin, mereka di rumah tidak sebebas dan seribut ini. Soalnya salah satu dari temanku ada yang curhat, kalau di rumah ia sangat pendiam dan takut sama ortu-nya. Jadi, kalau sudah berada di luar rumah, dia bebas melakukan apa saja. 

Di sekolah, aku juga aktif di kegiatan OSIS dan kerohanian. Selain itu ekskul yang ditawarkan pihak sekolah seperti latihan silat juga pernah ku ikuti, namun sekali lagi fisikku terbilang lemah. Sehingga aku mudah letih saat pelatih menghukum kami yang salah dalam melakukan gerakan. Jadi, aku pun mundur dari klub silat. Aku lebih sibuk di kegiatan pertemuan rutin mentoring (halaqah)[15] bersama Pak Kurniawan Widodo, guru Kimia yang baik dan shaleh. Meski ditengah kesibukannya kuliah dan mengajar, beliau masih  menyempatkan diri membimbing kami agar selalu tilawah Al-Quran, menegakkan shalat fardhu dan sunnah, aktif di berbagai diskusi keagamaan bahkan mengenalkanku ke dunia kampus. 

Ada guru yang juga sangat kami jadikan panutan dan teladan. Beliau adalah Bu Hasanah, guru yang mengajar Matematika ini sangat akrab dan ramah dengan kami. Beliaulah tempat kami curhat dan diskusi seputar permasalahan yang kami hadapi. Tapi sayangnya, beliau bukan guru tetap di sekolah kami. Saat Bulan Ramadhan tiba, Ibu selalu hadir diacara ifthar bareng (buka puasa bersama). Saat acara perpisahan dengan anak-anak kelas 3, Ibu mengajak kami berlibur ke Pantai Pasir Panjang[16] di Kota Singkawang. Aku masih ingat, waktu itu aku tidak mau mandi dan basah-basahan di pantai. Tapi, oleh teman-temanku, kaca mataku dilepas, dan sandalku disingkirkan, aku diangkat beramai-ramai dan digiring ke pantai yang ada ombaknya, aku diceburkan di sana. Sekujur tubuhku dan bajuku basah kuyuk. Begitu pula Ibu Hasanah juga basah kuyuk, teman-temanku sempat mengabadikannya dengan foto. Sungguh pose yang sangat lucu. 

Dan tidak hanya kedua guru itu yang telah berjasa kepadaku, mulai dari aku mengenal tulisan di pendidikan TK, SD, SMP,SMU aku sangat berterima kasih kepada semua guru-guruku yang telah berjasa mendidik dan membimbingku menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa dan Negara ini. Hanya Tuhan saja yang dapat membalas kebaikan dan ketulusan mereka.

Aktif di Remaja Masjid dan Pengajar TPA
Selain aktifitasku di rumah ustadz, lingkungan keagamaan sangat mendukung di sini. Sebab rumah ustadz sangat berdekatan dengan Masjid besar yakni Masjid Sirajul Munir. Di masjid inilah aku berkenalan dengan teman-teman sebaya dan ikut aktif pada pengajian rutin yang diadakan oleh remaja masjidnya. Aku juga diminta oleh kepala unit Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) Sirajul Munir yaitu Bang Ing untuk mengajar di sana. Alhamdulillah, aku mendapat infaq bulanan dan biaya itu ku gunakan untuk keperluanku sekolah. Meskipun sebagian besar juang jajan dan biaya sekolahku dibiayai oleh ustadz. Dan aku bersyukur saat itu, aku mendapat beasiswa dari yayasan swasta gerakan orang tua asuh yakni Orbit dari Jakarta Selatan berkat bantuan Bang Amin, adik angkat Ibuku yang juga sukses mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi dengan beasiswa tersebut. 

Pindah ke Asrama
Aku sempat pindah meninggalkan rumah ustadz dan tinggal di Asrama Mahasiswa Kabupaten Sambas (AMKS) Pantai Utara. Di sana aku belajar hidup mandiri dan mencari pengalaman berinteraksi di dunia mahasiswa. Beragam aktifitas dan kegiatan keorganisasian kemahasiswaan ku ikuti baik di intelnal maupun eksternal kampus. Sehingga aku mendapat banyak teman sekaligus ilmu dan pengalaman.

Kuliah di STAIN Pontianak
Alhamdulillah, impianku tercapai dapat melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang perguruan tinggi negeri. Aku masuk kuliah ditahun 2004 mengambil jurusan Dakwah dengan konsentrasi bidang studi Bimbingan Penyuluhan Islam (kini berubah menjadi Bimbingan Konseling Islam/BKI).
Semoga kita masih dipanjangkan umur, nantikan kisahku selanjutnya.
Bersambung…
Pontianak, 24 April 2012
Pemulung Inspirasi



[2] Rau adalah istilah masyarakat melayu Sambas untuk menyebut suatu penyakit belang berwarna hitam yang menutupi lapisan epidermis luar kulit pada waktu bayi dilahirkan. Mungkin istilah ini berbeda penyebutannya di lain tempat atau daerah masing-masing. Jika melayu Pontianak menyebutnya dengan istilah Baba’. Kadang Rau ada yang ditumbuhi rambut ada juga yang tidak. Jika Rau ini dibiarkan, sampai anak tumbuh dewasa, maka rau akan sulit dihilangkan, ia akan menyatu dengan pigmen kulit.
[3] Inciringan (tanah comberan becek berwarna hitam) dijadikan tambe (obat) dan perantara guna menghapus rau bulan (kutukan dari roh jahat) kepada bayi. Sifat tanah inciringan secara fisik adalah kotor, kutukan rau itu hukumnya harus dikotori sehingga kekuatannya lenyap. Segala ilmu hitam, magis akan hilang kekuatanya jika dikotori dengan tanah. Sebab asal muasal manusia tercipta dari tanah. Sifat tanah itu suci (nature). Inilah yang kemudian baru saya ketahui sebagai hukum kausalitas dalam filsafat ilmu metafisika.   
[4] Bambang Irawan dalam karyanya, The Power of Shalawat, mengatakan keutamaan dan manfaat shalawat ini jika dibaca, dengan izin Allah, dapat menolak penyakit dan wabah. Dianjurkan untuk membaca sebanyak-banyaknya ketika banyak orang yang terkena wabah dan menderita sakit. Lafal shalawatnya sebagai berikut, ‘Allahumma Shalli wasallim ‘alaa sayyidinaa Muhammadiwwa’alaa Aali sayyidinaa Muhammadin Shalaatan tadfa’u bihaa ‘annath-tha’na wath-tha’uuna yaa amruhu idzaa araadasyai-an ayyaquu lalahu kun fayakuun’ : ‘Ya Allah, limpahkanlah rahmat atas junjungan kami Nabi Muhammad dan kepada para keluarganya dengan rahmat yang Engkau menolak dengannya dari kami dari tusukan jin dan tha’un. Wahai Dzat yang urusannya jika menghendaki sesuatu dengan berkata kepadanya, “jadilah maka jadilah ia.’ (Bambang Irawan, 2008. The Power of Shalawat, Solo: Tiga Serangkai, h. 113-114).
[5] Ini bukan sekedar keyakinan terhadap mitos atau petue orang-orang terdahulu. Ini adalah eksperimen yang sukses dilakukan oleh nenek dan ibuku. Secara ilmu saint, dapat kita buktikan bahwa bakteri yang terdapat dalam tanah comberan itu mampu membusukkan bagian tertentu dari makhluk hidup. Berkaitan dengan hal itu, Aku teringat dengan uji coba  yang pernah kami lakukan, saat aku dan teman-teman mendapat tugas dari Ibu guru kesenian. Waktu itu Aku masih duduk di kelas 3 SD, kami disuruh mengumpulkan daun nangka untuk kemudian direndam dalam tanah comberan selama beberapa minggu. Setelah daun itu diangkat, yang tersisa hanya tulang dan urat/serat daunnya, dengan hati-hati saya mengangkat daun-daun itu agar bentuk daun tetap utuh. Kemudian daun-daun itu dicelupkan ke air pewarna hingga warna meresap pada tulang dan urat/serat daun. setelah itu dikeringkan. Dan daun-daun yang telah berwarna itulah kemudian menjadi bahan untuk membuat beberapa tangkai bunga hiasan sesuai dengan contoh yang telah diajarkan Ibu guru di sekolah. Agar bunga berbau harum, bunga hiasan yang telah jadi itu disemprot dengan pewangi.
[6] Mamang Ngekngok adalah sebutan untuk seorang laki-laki jawa yang berjualan balon karet dan mainan secara keliling kampung dengan sepeda. Dulu, jika tidak punya uang, mainan itu bisa ditukar (barter) dengan barang bekas yang bisa di daur ulang seperti besi, panci bekas, botol kaca, kaleng, dan plastik. Anak-anak kampung memanggilnya mamang Ngekngok karena setiap kali ia lewat ia membunyikan suara ngekngok…ngekngok untuk memanggil anak-anak. Itulah suara klakson buatan yang terbuat dari balon karet dan bambu kecil sebagai sumber suara persis yang dipasang pada terompet tahun baru.
[7] “Isaat, Mawaar..sudah itu ayah kalian datang, nanti kalian dimarahinya”cegah Ibu agar kami tidak lagi mencorat-coret dinding.
[8] “Heran jika bermain dengan anak orang lain kalian akur tapi jika sesama saudara malah berkelahi”ujar ayah.
[9] Sinar-X atau sinar Röntgen adalah salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang berkisar antara 10 nanometer ke 100 pikometer (mirip dengan frekuensi dalam jangka 30 PHz to 60 EHz). Sinar-X umumnya digunakan dalam diagnosis gambar medis dan Kristalografi sinar-X. Sinar-X adalah bentuk dari radiasi ion dan dapat berbahaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Sinar-X).
[10] Azan dan bacaan Al-Quran merupakan lafadz-lafaz mengagungkan keesaan Allah swt. sehingga sangat ditakuti oleh para pengikut setan dan Iblis laknatullah ‘alaih.
[12] Anda boleh percaya atau tidak, tapi inilah yang kurasakan. Pengalaman spiritual yang serupa itu juga terjadi pada orang yang mati suri bahkan dari berbagai latar belakang agama. Yakni bertemu dengan orang yang sudah meninggal, disuruh pulang oleh salah seorang dari mereka. Ini berarti perjalanan ruh hampir mendekati gerbang kematian. Namun Tuhan berkehendak lain. Sehingga ruh kembali ke dalam jasad dan seseorang kembali hidup.
[13] Karkun adalah sebutan untuk jamaah yang pernah keluar (khuruj) atau anggota dari jamaah tabligh.
[14] Keluar (khuruj) adalah istilah untuk kegiatan rutin yang dilakukan para karkun dalam meluangkan masa/waktu mereka untuk agama Allah swt. Berdasarkan musyawarah dan fatwa para ulama Jamaah Tabligh, para karkun dianjurkan untuk khuruj 3 hari untuk nasab seminggu, 40 hari untuk nasab sebulan, 4 bulan untuk nasab setahun. Nasab disini dimaksudkan perhitungan yang ditetapkan pimpinan, para mursyid Jamaah Tablik dalam meluangkan masanya.
[15] Mentoring (halaqah/liqa) adalah istilah untuk pertemuan rutin kelompok pengajian kecil yang terdiri dari 5-10 orang. Istilah ini dikenal dalam jamaah tarbiyah yang dipelopori oleh Imam Hasan Al-Bana.
[16] Pasir Panjang adalah nama salah satu objek wisata di Kota Singkawang yang cukup diminati baik wisatawan lokal maupun di luar daerah.

0 comments:

Crocodile Print Pointer